Dabel nih.
..
Hampir satu tahun. Tepatnya beberapa bulan lagi. Sejak awal kecelakaan itu hingga kini. Tak di sangka hubunganku dengan Yoongi sudah menginjak bulan kedelapan. Di hitung dari masa percobaan.
Sungguh konyol.
Tapi, sekarang kita Benar-benar nyata. Benar-benar menjalin hubungan sesungguhnya. Saling menyayangi dan mengasihi. Saling mengerti dan memahami. Meski tak jarang harus bertengkar hebat sekali. Seperti beberapa hari lalu.
"TAPI, AKU INI DOKTER. KESEHATAN PASIEN ADALAH PRIORITASKU"
"TAPI, TIDAK BEGINI CARANYA! KAU BISA MENGURANGI JADWALMU"
"BUKAN AKU YANG MENENTUKAN JADWALKU"
"TAPI, AKU TIDAK BISA MELIHATMU SELALU DEKAT DENGAN DOKTER ITU!"
"OH! JADI KAU CEMBURU? JANGAN GILA MIN YOONGI! DIA REKAN KERJAKU. SEBELUM MENGENALMU BAHKAN AKU SUDAH MENGENALNYA"
"Oooh, begitu? LALU, KENAPA KAU TIDAK PACARAN SAJA DENGANNYA?!"
"APA MAKSUDMU?! KAU LUPA? SIAPA YANG DULU MENGAJAKKU KENCAN? SIAPA?!"
"LALU, KENAPA KAU MENERIMA AJAKANKU?"
"MIN YOONGI!! hentikan sekarang! Aku tidak ingin berdebat denganmu. Pulanglah!"
Saat itu aku marah luar biasa. Bagaimana mungkin aku mementingkan berkencan dibanding mengurus pasien?
Sepulang dari rumah sakit ku dapati Yoongi sudah berdiri di depan pintu. Auranya benar-benar gelap. Saat itulah, kami langsung bertengkar.
Setelahnya, aku menangis tergugu di tempat tidur. Sempat berpikir, apakah hanya dia yang telah meninggal yang bisa mengerti diriku juga pekerjaanku.
Tapi, di lain sisi ada sensasi lain saat bersama Min Yoongi. Perasaan yang belum pernah ku rasakan sebelumnya dengan siapa saja.
"Masuklah!"
Itu dia, pria yang sedang kita bicarakan. Dia memanggilku dari dalam mobilnya. Tepat saat aku sudah membuka pintu mobilku.
"Aku bawa mobil sendiri" ketusku. Terserah saja. Aku masih kesal padanya.
Jujur kami belum baikan. Sementara, ini sudah hari keenam kami bermusuhan.
"Tinggal saja!"
"Pulanglah! Aku akan pulang sendiri"
"Kita perlu bicara"
"Mau bicara apa? Katakan saja!"
"Rae Na! Bisakah tidak seperti anak kecil?"
"Anak kecil?" Ku tinggikan suaraku saking kesalnya. "Jadi kau menganggapku anak kecil?!"
"Cepat masuk! Memalukan jika dilihat orang"
Dia sudah membuka pintu mobilnya. Ku banting pintu mobil kasar. Lalu, masuk ke mobilnya.
Setengah perjalanan telah kami lalui. Masih sama, hanya hening yang terjadi. Malas sekali bicara padanya. Aku hanya berdecak dengan sesekali mengetuk-ngetuk kaca mobil.
"Mau makan dulu?" Tanyanya halus.
"Terserahmu saja!" Jujur aku masih ketus padanya. Bahkan sama sekali tidak melihatnya.
"Apa kau tidak lelah marah terus begitu?"
"Tidak!"
Kudengar dia menghela napas. Mengontrol emosi, mungkin?
Lagi, keheningan menyelimuti.
.
Makanan datang.
Aku segera menyantapnya tanpa peduli dia yang menatapku jengah.
"Tidak ingin baikan?" Celetuknya.
Aku bingung harus menjawab apa. Jujur, aku masih sangat kesal. Tapi, jika aku bilang 'tidak' dia akan meninggalkanku, bagaimana?
Aku tidak bisa membohongi perasaanku jika aku sudah sangat menyayanginya. Tanpa ku sadari, rasa sayangku padanya tumbuh dengan hebat. Hingga aku tidak dapat mengendalikannya.
"Baiklah. Kalau begitu, kita akhiri saja"
Sontak aku menatapnya. Tatapannya benar-benar sayu. Aku tidak kuat melihatnya. Dia tampak begitu sungguh-sungguh. Membuat mataku seketika berkaca-kaca.
"Mungkin aku memang tidak bisa memahamimu. Aku pergi. Tagihannya sudah ku bayar"
Dia beranjak. Sementara aku masih mematung di tempat. Ku ikuti setiap langkahnya. Hingga aku sadar, aku harus menghentikannya. Aku harus menahannya. Tidak boleh melepaskannya.
"Min Yoongi!"
Dengan air mata yang sudah mengalir, ku panggil dia yang hampir melewati pintu. Dia berhenti lalu melihatku.
Aku mengejarnya. Tidak, aku tidak memeluknya. Cukup sadar, kami sedang di restoran.
Hiks hiks hiks
Itu tangisku. Aku Benar-benar menangis tersedu di dalam mobilnya sejak kami keluar dari area parkir. Entah akan sampai kapan. Aku terus menangis tanpa malu di sampingnya. Mengesampingkan sikap elegan yang biasa ku sandang.
Huk huk huk
"Berhenti menangis"
Aku hanya menggeleng. Kembali melanjutkan tangisku yang entah kenapa tidak mau berhenti.
"Jadi, apa maumu?"
Aku masih menggeleng. Aku harus jawab apa?
"Kalau kau ingin berpisah, kita berpisah. Aku tidak apa-apa"
"TIDAK MAU! Hiks hiks"
Reflek aku menggelayut di lengannya yang bebas. Menyandarkan kepalaku di pundaknya. "Jangan! Aku tidak mau. Pokoknya TIDAK MAU!"
"Lalu? Maumu apa?"
Apa ini? Kenapa mobil berhenti? Dia ingin meninggalkanku di jalan?
"Sudah sampai. Turunlah!"
Bukannya turun, justru ku eratkan dekapanku. Tidak mau, aku tidak mau. Aku tidak mau dia pergi.
Perlahan tangannya mulai membelai bahu hingga lenganku. Rasanya nyaman sekali. Aku jadi tidak ingin turun dari mobil.
"Kita berpisah, hem?"
Aku menggeleng di bahunya.
"Lalu, kenapa masih marah?"
"Kau sendiri, kenapa tidak datang minta maaf?" Tukasku masih setengah segukan.
"Aku datang untuk minta maaf. Kau saja yang masih marah"
"Min Yoongi! Tidak mau. Pokoknya tidak mau. Kau harus bersamaku"
Akhirnya dia mengecup keningku. "Maaf! Aku salah!"
Aku diam.
"Turunlah! Sudah malam. Kau harus istirahat"
Aku mengangguk. Lalu, keluar dari mobilnya. "Jangan lupa menjemputku!" Kataku.
"Aku tahu!"
Sesederhana itu?
Aku mencintainya sesederhana itu. Takut akan di tinggalkan mampu membuatku mengalah pada keegoisan. Dan itu, hanya untuknya. Karena dia.
Ya, dia. Dia yang minta maaf. Tapi, aku tidak.
TBC--
Panjang ini.. Eheee
Lavyu
Ryeozka
KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye Road /END
Hayran KurguDeskripsi ada dalam cerita. Senin, 12 November 2018