Arkan mendesah ketika menyadari jika dokumen penting untuk rapat hari ini ketinggalan. Ia tidak mungkin meminta seseorang untuk mengambilnya karena itu dokumen penting dan rahasia. Terpaksa dirinya harus kembali ke apartemen untuk mengambilnya.
Arkan berjalan terburu-buru sambil sesekali melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia masih memiliki waktu 20 menit. Untung saja jarak kantor dan apartemennya tidak terlalu jauh.
Arkan mengernyit heran, tumben sekali apartemennya ini sunyi. Biasanya Ayesha akan menyalakan Tv dengan volume tinggi atau kalau tidak perempuan itu akan menyanyi dengan suara keras. Mungkin wanita itu sedang keluar. Pikir Arkan. Namun, langkahnya terhenti kala mendengar isakan seseorang. Arkan membuka pintu kamar mandi di kamarnya dan membelalakan mata terkejut melihat disana Ayesha terduduk dibawah air kran yang mengalir diatasnya sambil menangis tergugu.
"Astaghfirullahal azdim. Apa yang kau lakukan huh?" Ucap Arkan dengan suara membentak. Ia segera mematikan air kran. Bibir wanita itu sudah membiru, wajahnya pucat. Ayesha bahkan tak menghiraukan kedatangan Arkan.
"Istighfar, Ay." Arkan melembutkan suaranya sambil memegang kedua bahu Ayesha mencoba menyadarkan istrinya itu. Bahkan ini kali pertama ia menyebut nama Ayesha.
Ayesha mengangkat kepalanya menatap kedua mata Arkan sendu."Apakah Allah akan menerima taubat dari seorang pendosa sepertiku?" tanya Ayesha dengan suara bergetar.
Arkan merasa terhenyak mendengar pertanyaan itu. Apakah ini karena ucapannya tadi? Arkan membawa Ayesha ke dalam pelukannya mencoba untuk menenangkannya. Membiarkan pakaiannya ikut basah. Ia merasa bersalah dan berdosa. Ia telah lalai dan melupakan kenyataan bahwa dirinya sekarang adalah seorang suami. Arkan sadar, sebagai seorang suami ia seharusnya bisa membimbing istrinya menuju kebenaran. Mungkin ini salah satu cara Allah untuk menegurnya.
"Setiap orang berhak untuk berubah dan berhijrah. Dan Allah mengampuni setiap dosa bagi siapa saja yang bertaubat dan kembali pada-Nya." Ucap Arkan lembut seraya menghapus air mata Ayesha.
***
Arkan nampak sedang menghubungi seseorang sambil menunggu Ayesha yang sedang membersihkan diri.
"Pak anda sudah ditunggu clien di ruang rapat" ucap suara di telepon yang tak lain adalah Ikhsan."Maaf, sepertinya saya tidak bisa menghadiri rapat hari ini. Tolong handle rapat hari ini dan jadwalkan ulang pertemuan saya dengan Pak Antonio. Saya percayakan semua ke kamu, San."
"Baik, pak"
Arkan mematikan teleponnya bersamaan dengan Ayesha yang baru saja keluar dari kamar mandi, wajah perempuan itu masih terlihat pucat walau sudah tak sepucat tadi. Arkan bergegas menghampirinya. "Apakah kamu sudah berwudhu?" tanyanya. Ayesha mengangguk.
"Kita sholat dhuha berjamaah ya, tunggu saya wudhu dulu."
Ayesha menunggu Arkan yang sedang berwudhu sambil menatap mukena di ditangannya dengan pandangan kosong. Setelah bertahun-tahun ia tidak pernah mengenakannya, sekarang ia mengenakannya lagi. Air mata wanita itu kembali terjatuh. Dosa-dosa yang telah lalu kembali berputar-putar di kepalanya layaknya sebuah film.
Kedatangan Arkan menyadarkan kembali lamunan Ayesha. Arkan mengambil alih mukena di tangan Ayesha dan memasangkan padanya. Arkan mencoba tersenyum, "kamu cantik memakai mukena ini."
Ayesha hanya tersenyum masam dan memandang kedua mata Arkan dengan sendu. "Aku tidak bisa sholat."
Arkan tidak kaget. Selama sebulan pernikahan mereka, Arkan belum pernah melihat wanita itu sholat. Ia sangat menyayangkan hal itu, berapa banyak waktu yang wanita itu sia-siakan karena meninggalkan sholat. Padahal amal ibadah yang pertama kali dihisab di akhirat kelak adalah Sholat.
Tugas Arkan sekarang adalah membimbing istrinya ke jalan yang benar. Mungkin ini adalah jalan Allah untuk memberikan hidayah kepada Ayesha untuk bertaubat dan menguji Arkan seberapa kuat imannya. Sekarang Arkan sudah bertekad untuk memulai semuanya dari awal bersama Ayesha. Istrinya.
***
Ayana duduk termenung di sebuah bangku taman dengan mata yang sedari tadi tak berhenti menatap sepasang suami-istri yang berada tak jauh dari tempatnya duduk. Sang suami terlihat sedang mengelus perut buncit istrinya yang mungkin akan segera melahirkan. Pemandangan itu seakan mengingatkannya akan impiannya selama ini, memiliki suami sholih, perhatian, tampan dan melahirkan anak-anak yang menggemaskan.
Satu tetes air mata jatuh di kedua pipinya. Ia harus mengubur dalam-dalam mimpinya itu, karena laki-laki yang telah ia harapkan membatalkan khitbahannya. Ini sudah hampir sebulan berlalu, namun ia masih belum bisa melupakannya.
Ayana mengira bahwa perasaannya telah baik-baik saja. Namun, kenyataannya setitik luka itu masih ada, serasa enggan untuk pergi. Hingga hari ini ia masih belum bisa menjadi sesosok yang tegar dalam menghadapi situasi ini. Rasa sesak itu begitu menghimpit rongga dadanya ketika berhadapan dengan kenyataan yang sulit ia terima.
"Saat kita terluka, saat kita bersedih, hal yang ingin kita lakukan adalah pergi dan menyendiri. Namun, sadarkah kamu bahwa hal itu tak akan membuatmu lupa akan masalahmu. Hal itu hanya akan membuatmu terlarut-larut dalam kesedihan. Hilangkanlah kesedihan dari wajahmu, karena ada seseorang yang ikut bersedih saat melihatmu bersedih."
Ayana menoleh saat mendengar suara seorang pria yang duduk tak jauh darinya, menyadarkan dirinya yang tengah terlarut dalam pusaran luka. Ayana mengernyitkan dahinya menatap pria itu yang tengah melihat pemandangan di depan sana.
Merasa ditatap, pria itu juga menoleh. "Minumlah. Ini adalah ramuan anti galau yang paling manjur." Ucap pria itu sambil tersenyum.
TBC
Assalamualaikum 😊 maaf updatenya lama. Terimakasih yang sudah menunggu kelanjutan cerita ini😚 semoga menghibur dan bermanfaat 😊
Selasa, 11 Desember 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
HS 1 : Jodoh Terbaik ✅ (SUDAH TERBIT)
SpirituellesOPEN PO 20 JULI 2020 [Romance - Spiritual] Jodoh? Siapa yang tau kita akan berjodoh dengan siapa. Tapi, sebagai hamba-Nya kita harus selalu memantaskan diri menjadi yang lebih baik. Karena yang baik akan Allah sandingkan dengan yang baik pula, begi...