3 years later, Jakarta, Indonesia.
Dara's Pov
Gue memasuki coffee shop bernuansa klasik sambil menenteng beberapa roti isi didalam paper bag.
"Pagi mbak Dara!"
"Halo, ibu negara kami yang cantik"
"Good morning sunshine, mbak Dara!"
Gue ketawa aja, sambil nyamperin beberapa pegawai yang tersebar lagi merapihkan dan siap-siap buka Coffee Shopnya. Karena, jam sembilan pagi harus udah buka. Pasti banyak yang mau nugas atau sekedar ngopi buat berangkat ke kantor.
"Hai-hai semua! semangat ya kerjanya. Aku bawain sandwich gitu nih, dimakan ya guys!" kata gue girang sambil mengeluarkan satu-persatu wadah berisi sandwich
Semua pegawai gue mulai dari kasir, waitress orang gudang, sampai OB langsung menarik bibirnya dari ujung ke ujung saking senangnya. Dan yang pasti, perasaan gue yang ngasih lebih seneng daripada mereka intinya.
"Mbak Dara, sumpah baik banget mau nangis aku, mbak" kata Nana, salah satu pegawai gue di bagian kasir
Gue senyum, "gak seberapa sama kalian yang kerja setengah hari malah kadang ada yang lembur, dimakan ya, okay?" balas gue sambil menatap ke semua pegawai
"Yaudah, aku mau duduk dulu sebentar, bikinin Americano ya, Dev" ucap gue, ke Deva, barista kebanggaan gue, karena poin pentingnya adalah, dia mau bekerja dibawah nama Dara, nama gue. Rasanya, gue beruntung banget.
Disini, bukan coffee shop dekat kantor gue di SCBD. Ini coffee Shop punya gue sendiri, di dekat pasar Benhill. Kalian pasti tau deh, kalau sempat, mampir ya. Gue bakal seneng banget rasanya. Bisalah gue kasih free beberapa cup kopi sama camilan.
Kalau ditanya awal mulanya kenapa bisa kepikiran mau buat Coffee Shop, alias usaha gue sendiri, diawali sama rasa bosan kerja kantoran waktu itu. Akhirnya, gue memutuskan untuk keluar dari ketidaknyamanan gue sendiri. Kenapa coffee shop? Karena, berawal dari suatu hal yang dimana gue itu coffee addict.
Mikir-mikir, kenapa juga gue gak buat brand sendiri gitu deh jatuhnya. Jadilah, survey-survey tempat, dan bersyukurnya, dapet tempat yang lumayan strategis dan dilewati orang banyak, juga di tengah-tengah kota.
Gua akhirnya make uang tabungan, dan ternyata papa sama mama niat nambahin. Awalnya, gue tolak. Gue tolak habis-habisan. Orang gue bisnis buat ngebiayain mereka juga, ngapain malah ikut bantuin, coba? Tapi, mereka bilang kali ini, diawal, biar mereka ikut bantu sedikit. Sisanya, biar gue yang ngehasilin. Betapa besar hutang gue sama mereka coba? Dari sanalah, yang berhasil bikin gue kerja keras buat bikin bisnis gue progress nya bagus.
Gak lama, bunyi notification chat line masuk dari Handphone gue. Ternyata, Karin sama Sesa mau mampir ke tempat gue, ke coffee shop ini.
Gak pake mikir, langsung gue iyain. Gimana gak seneng di mampirin? Akhirnya, gue minta pegawai gue buat nge-serve satu tempat buat kita ngobrol nanti.
"Bentar lagi langsung dibuka aja, ya! gak apa-apa, gak usah peduliin aku ya. Lakuin kayak biasanya aja"
"Siap mbak Dara!"
YOU ARE READING
Premonition | Jonatan Christie
Teen FictionIt was love at first sight, At last sight, at ever and ever sight.