AKU NIKAHI KAU DENGAN BISMILLAH
"Ok, bro. Gue nitip dia ya. Kabari gue jika butuh sesuatu."
"Siyap. Kita cek medis dulu dia. Percayalah. Elo datang pada tempat yang tepat. Terimakasih, elo sudah peduli." Reno menepuk pundakku.
"Dimana, elo nemuin dia?"
"Area hutan karet, bro. Kemarin, gue pas jalan pulang, dari kantor. Kebetulan suasana sepi, pas gerimis turun. Gue lihat dari jauh, seseorang sedang menyetubuhi dia. Lokasinya agak deket jalan raya. Langsung gue menepikan mobil. Gue tonjok dia!'
"Weitsssss gila! Sebenarnya yang gila gadis itu, apa para laki-laki brengsek itu ya! Gak punya otak!"
"Sudahlah. Daripada ikut gila, memaki orang gendheng. Kita yang waras, yang harus banyak peduli."
"Darwantooooooooo, elo emang keren lahir batin! Kalo elo cewek, udah gue lamar! Kagak pake lama. Hahahhahhaha."
"Wkwkkwkkwkwkkwkkw, ogah amat!"
""Iyalah. Cinta mati elo, si Marni."
"Nah, ntu elo tau. Ini ada sedikit rejeki. Gue nitip buat keperluan gadis malang itu. Gue pulang dulu." Reno menerima amplop coklat dariku.
"Eits, paling alarm hidup elo udah meraung-raung ya. Hahahhahha."
"Iya. Lo kan tau Marni, dengan baik. Gue cabut dulu ya bro. Assalamualaikum."
"Take care ya. Waalaikumsalam."
Setelah memastikan, gadis malang itu dalam keaadaan baik dan aman, berada di tempat yang tepat, aku langsung pamit pulang pada sahabatku, Reno. Kebetulan, dia adalah salah satu staff di Dinas sosial.
Aku langsung meluncur pulang dengan laju super cepat. Aku tidak mau, Marni ngomel-ngomel, karena tak menepati janji tadi siang untuk menemaninya mencari kebaya, yang akan di pakainya pada acara pernikahan kami minggu depan.
...
Akhirnya aku bisa bernafas lega. Setelah mengantar gadis malang itu. Aku menarik nafas panjang. Alhamdulillah. Satu kebaikan yang telah aku lakukan, semoga dapat menarik kebaikan-kebaikan yang lain. Wujud rasa syukur ku, atas semua kenikmatan dan kemudahan hidup yang telah aku raih, selama ini.
Pada usiaku yang terbilang masih cukup muda, 32 tahun. Aku sudah memiliki beberapa perusahaan kecil, yang bergerak di bidang property. Aku mewarisi sedikit peninggalan usaha almarhum Papaku. Di tanganku, semuanya berjalan dengan baik.
Dalam waktu yang cukup singkat, usahaku berkembang sangat pesat. Saat ini, aku memiliki beberapa kantor cabang di lima kota besar, negeri ini.
...
Aku tiba di halaman rumah Marni, tepat saat adzan magrib berkumandang.
Semoga dia mau menunda sampai besok, untuk keluar mencari kebaya. Aku butuh istirahat. Tubuhku sudah beraroma asam, belum sempat pulang kerumah untuk mandi. Aku mengirimkan pesan untuk Mama, memberitahukan padanya, kalau sedang berada bersama Marni.
"Assalamualaikum." Aku mengetuk pintu rumahnya, yang cukup sederhana. Ya, Marni bukan keluarga yang kaya. Hidup mereka sangat sederhana.
"Eh, Mas. Waalaikumsalam."
"Mas boleh minta minum?"
"Duduklah. Marni, ambilin bentar ya."
"Iya, sayang." Aku duduk di teras depan. Tak lama kemudian Marni keluar membawa sebotol air dingin.
"Mas, lelah ya? Ya udah, besok aja keluarnya. Mas pulang aja. Istirahat."
Ah, Marni selalu saja mengerti keadaanku. Tanpa aku berbicara, dia sudah dapat membaca diriku dengan baik.
"Iya. Mas lelah banget."
"Tadi, Reno menelponku. Dia cerita semua. Aku bangga menjadi calon istrimu. Tetaplah menjadi orang baik ya, Mas. Apapun keadaanmu. Aku akan selalu mendukungmu."
"Ih, dasar Reno kamfretttt, main telpon calon istri orang aja!"
"Cemburu?"
"Kagak lepel cemburu sama dia. Buang-buang tenaga aja. Cuma gak rela aja, calon istri Mas, ngobrol ama orang lain."
"Hahhahahhahah. Iya, iyaaa...."
"Ya udah. Mas pamit pulang dulu ya. Salam buat Bapak sama Ibu mu. Gak usah dipanggilin. Mas langsung pulang aja."
"Mas." Marni menahan langkahku untuk menuju mobil.
"Ya? Ad apa sayang?"
"Ibu sama Bapak, besok mau datang ke rumah, Mas. Entah ada apa. Katanya ada hal penting yang mau dibicarakan."
"Jam berapa? Mas jemput aja kesini. Kasian kalau harus naik bis kesana."
"Gapapa, Mas. Biar kami naik bis aja. Kami udah terbiasa kok."
"Ya udah. Kabari aja ya. Nanti biar Mas, udah di rumah kalau kalian datang."
"Siap Mas sayang."
...
Dengan sopan, Ibu dan Bapak Marni, membungkukan badannya, saat menyalami Mamaku. Sesuatu yang membuat aku jatuh cinta pada keluarganya, adalah sopan santun mereka yang sangat baik.
Butuh perjuangan hebat, untuk meyakinkan Mama ku, agar merestui rencana pernikahan kami. Walau nampaknya, Mama masih berat memberikan izinnya, namun akhirnya Mama merestui juga.
"Maaf, kami mengganggu waktu Ibu." Bapak Marni, memulai percakapan.
"Iya. Ada apa Pak? Semua persiapan sudah matang kan? Kurang apa lagi?" Nada Mama agak tinggi. Aku mulai tak nyaman. Mama memang masih belum sepenuhnya menerima keluarga Marni, dengan hatinya.
"Mengenai wali nikah Marni." Suara Bapak agak lirih. Wajahnya menunduk agak cemas.
"Kenapa? Bukankah kamu Bapaknya? Ya kamu walinya."
"I i i iyaaaa Bu. Saya memang Bapaknya. Tapi tapi..., saya tak bisa jadi wali nikah putri saya. Marni harus memakai wali pengganti."
Marni terkejut. Aku juga tak kalah terkejut. Mama, mengernyitkan dahinya.
"Ada apa ini? Jangan bertele-tele. Lekas katakan."
"Marni memang putri saya Bu. Darah daging saya. Tapi...."
"Tapi, apa?"
"Ibunya Marni, mengandung Marni, sebelum saya menikahinya." Bapak tampak gugup. Menunduk menyembunyikan ketakutannya pada Mamaku.
Benar saja, Mama langsung beranjak berdiri, dari tempat duduknya. Wajahnya memerah, menahan marah.
"Jadi! Marni anak haram! Hasil hubungan diluar pernikahan! Najis! Saya tak sudi punya menantu anak haram!"
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU NIKAHI KAU DENGAN BISMILLAH
Romancekisah cinta gadis gendheng yang kocak dan menyebalkan.