5

47 2 0
                                    

AKU NIKAHI KAU DENGAN BISMILLAH

  "Mama, tidurlah di ranjangku. Dar, tidur di sofa. Jangan gelisah lagi ya. Tenangkan pikiran Mama."

"Maafkan, Mama ya Nak."

"Tidurlah."

"Dar," Ucapnya pelan.

Aku menoleh padanya. Dia beranjak duduk menepi di ranjangku.

"Mama lupa, kamu sudah bukan anak laki-laki Mama yang kecil dulu. Kamu sudah baligh. Biar Mama kembali ke kamar. Maafkan Mama, yang kembali seperti anak kecil."

Aku tersenyum. Akhirnya mengerti juga dia. Aku bukan anak kecilnya lagi. Aku kembali mengusap tangannya.

"Mau Dar angkat lagi? Atau cukup dengan kursi roda itu?"  Aku menggodanya.

Kesehatannya mulaii menurun. Kadang untuk sekedar berjalan saja dia kelelahan.

"Dar."

"Ya?"

"Mama ingat gadis gila yang tempo hari, yang kamu bawa kesini. Apa kabar dia? Kau taruh dimana dia sekarang?"

"Oh. Namanya Malika, Ma. Dia sudah melahirkan bayi yang cantik."

"Malika si kedelai hitam itu? Kecap CDE?"

"Hahhahahha, Mama bisa aja." Mama terkekeh.

"Dimana dia?"

"Dinsos, Ma. Reno mengurus semuanya."

"Syukurlah. Maafkan Mama ya. Sejak para wanita muda disini, merebut hati kalian, pikiran Mama selalu tak tenang. Mudah tersulut emosi."

Ya, aku bisa mengerti dan memahami dengan mudah, situasi hati Mama. Dulu, Papah menikahi pembantu rumah ini, dan sekarang aku kembali ingin menikahi mantan pembantu rumah ini juga. Ya, Marni. Dulu dia membantu mengurus Mama yang sakit-sakitan, dan mengurus semua pekerjaan rumah ini.

...

  Perasaanku tak tenang. Di kantor aku gelisah. Berulang kali Marni mencoba menelponku. Meminta konfirmasi tentang kepastian pernikahan kami.

Mama belum juga memberikan restunya. Aku tak mau memperburuk kondisi kesehatannya. Tak ingin membawanya berfikir terlalu berat.

Marni kembali menelpon. Aku kebingungan sendiri.

"Assalamualaikum." Sapaku padanya.

"Waalaikumsalam. Mas, Bapak menunggu jawabanmu. Kasihan Ibu. Jatuh sakit sekarang. Tetangga kanan kiri sudah bisik-bisik tak enak." Suaranya terbata-bata. Seperti menahan tangis.

"Ok. Mas ke rumah ya. Dua jam dari sekarang. Mas bereskan dulu semua pekerjaan kantor. Setelah itu, Mas urus Mama dulu, trus Mas langsung ke rumahmu."

Setelah salam, Marni langsung menutup teleponnya. Aku menarik nafas panjang. Semoga semua baik-baik saja.

...

  "Mama, belum berubah pikiran Mama, lagi? Masihkah belum merestui kami menikah? Beberapa hari lagi Mah. Kasihan keluarga Marni."

Sebelum berangkat ke rumah Marni, aku sengaja pulang ke rumah dulu. Mencoba berbicara lagi dengan Mama.

"Terserah kamu lah. Mama mah apa. Pergilah. Gak penting juga pertimbangkan perasaan Mama, Dar."

"Ma..., jangan bicara seperti itu."

"Terserah."

"Ma...," sahutku kebingungan.

Mama hanya diam. Memainkan sendoknya di atas piringnya. Dia sedang makan siang.

"Mama kan butuh teman. Dar cariin pembantu lagi, Mama menolak. Kalau Marni, sudah menjadi istri Dar, Marni yang akan mengurus Mama dengan baik."

"Kau sama saja dengan Papah mu."

"Ma...," nafasku memburu, naik turun tak beraturan.

"Terserah!" Nadanya meninggi. Aku sudah tak berani lagi melanjutkan bicara.

...

  Aku tiba di rumah Marni. Perasaanku tak menentu. Pasti keputusanku, akan membuat air mata Marni berurai.

Aku mengetuk pintu rumahnya dengan pelan.

Tak lama kemudian Marni membukakan pintu. Air matanya mengalir dengan deras. Dia sedang nampak sangat bersedih.

Sesaat aku linglung. Betapa ingin aku memeluknya, dan menenangkannya. Tapi aku ingat, dia masih belum halal untuk aku sentuh.

"Mas...,"

Tiba-tiba, dia jatuh tersungkur di lantai rumahnya yang tanpa keramik. Tubuhnya bersandar pada dinding rumah kayunya.

"Marni! Jangan terlihat bodoh nak! Bangun!" Seru Bapak Marni. Dia muncul keluar dari dalam kamar.

"Ada apa ini, Pak?"

"Gak ada apa-apa, Nak."

Bapak membantu Marni berdiri. Kemudian menuntun anak gadisnya duduk di kursi rotan yang telah usang, ruang tamunya.

"Ibu sakit keras. Keadaannya sangat memprihatinkan. Di tambah gunjingan para tetangga." Ucap Bapak, datar.

"Ya Allah....." Aku berucap lirih. Berulangkali aku mencoba menarik nafas dan beristigfar.

"Ibu, tidak bisa menerima keadaan ini, Mas. dia tak sekuat Bapak," ucap Marni terisak.

"Marni, kau masuklah ke kamar. Temani Ibumu. Bapak, ingin bicara dengan Darwanto."

Tanpa bersuara, Marni langsung beranjak dari tempat duduknya, kemudian berlalu meninggalkan kami berdua.

...

  "Nak, aku akan tetap menikahkan Marni. Walau bukan denganmu. Semua persiapan tak boleh terbuang mubazir. Jatuh bangun, kami mengusahakan semuanya." Aku tercekat. Mendadak dadaku naik turun.

"Bagi gadis sederhana seperti Marni.  Aku yakin, rasa hormatnya terhadap kami lebih besar dari pada cintanya terhadapmu. Itu tak jauh berbeda dengan keaadaanmu. Demi menjaga semuanya berjalan dengan baik, aku memberimu waktu dua hari ini, untuk memikirkan segalanya."

Tubuhku serasa tanpa tulang. Lemah. Dan hampir saja tumbang, jika aku tak berusaha menguatkan diri.

"Pulanglah. Pikirkanlah. Dua hari aku rasa cukup, memberimu waktu. Kabari kami. Marni tak menolak, jika harus menikah bukan denganmu."

Berkelanjutan👀

AKU NIKAHI KAU DENGAN BISMILLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang