9

44 2 0
                                    

AKU NIKAHI KAU DENGAN BISMILLAH

  Airin menganggukan kepalanya, tanda setuju. Aku tersenyum geli, bagaimana mungkin tiba-tiba, terlintas dalam otakku, untuk mengajaknya melakukan sesuatu yang konyol. Menghabiskan uang dalam amplop besar, yang ditaksir nominalnya adalah lebih dari sepuluh juta.

"Tapi tidak hari ini. Besok pagi saja. Aku jemput kamu. Dimana kalian tinggal?"

Airin menyebutkan sebuah perumahan kawasan elit di kota Semarang. tak cukup jauh ternyata dari rumahku sendiri.

"Apakah Malika tinggal bersamamu sekarang?"

"Ada, sama Mama, Papa."

"Bagaimana ceritanya, Malika bisa bernasib semalang itu?"

"Panjang ceritanya. Jangan bahas sekarang. Saya pamit pulang dulu."

"Saya antar?"

"Tidak perlu, Pak. Saya bareng sopirnya Papah."

"Oh ok. Besok saya jemput kamu jam 9 ya? Kebetulan sekali weekend time. Cukuplah untuk menghabiskan uang itu."

"Terserah Bapak lah. Itu uang Bapak. Saya pamit dulu ya. Permisi."

Airin bergegas keluar ruangan, setelah menyalami aku. Tanpa sadar, aku tersenyum bahagia, entah kenapa. Besok untuk pertama kalinya, aku akan jalan kembali dengan seorang cewek, setelah masa kritis patah hati.

...

  "Ma, hari ini mungkin Dar, pulang malam ya."

"Mau kemana?"

"Ada meeting sama bos besar."

"Tumben."

"Hehhehheh. Doakan, semoga lancar. Segera mendapatkan tambatan hati."

"Loh?"

"Ups! keceplosan ya Ma? Maaf deh."

"Bohong ya?"

"Hehheheh, iya."

"Ya wes, hati-hati. Jaga diri!"

"Siap Ma. Berangkat dulu ya. Assalamualaikum."

Aku mengecup kening Mama. Kemudian meraih kunci mobil di atas meja  makan, dan segera berlalu dari hadapan Mama.

...

  Mobilku melaju pelan, memasuki sebuah kawasan pemukiman elit, tak jauh dari Simpang Lima Semarang.

Tak lama kemudian, dengan sangat mudah aku menemukan alamat rumah Airin.

Sebuah bangunan rumah yang tampak sangat megah, dengan halaman yang sangat luas. Ditumbuhi beberapa pohon besar yang sangat rindang, menciptakan suasana sejuk dan asri. Sebuah pos satpam berdiri persis, di dekat gerbang masuk rumahnya.

Tampak seorang satpam menghampiriku. Aku membuka kaca mobil, melemparkan sebuah senyum padanya.

"Pagi Pak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa nya ramah.

"Iya. Saya Darwanto. Teman Airin."

"Oh baik. Silahkan masuk dulu, Pak."

Dia langsung membuka gerbang rumah yang menjulang tinggi kokoh. Aku segera memarkirkan mobil.

...

  "Halloooo Papa...," ucap seorang gadis muda, dengan sangat ceria. Pandangannya tertuju padaku.

Seorang bayi mungil ada di gendongannya.

Cantik sekali dia ..., dan mungil bayinya .... lucu.

Aku tercekat. Dia kah Malika?

"Haloooo," ucapku sedikit ragu. Apa benar aku, yang dia sebut Papa.

"Hehhehehe, Papa cakep. Idungnya panjang amat siiiii. Dede gak kebagian idung deh jadinya. Hikz...."

Wah, ternyata benar. Sebutan Papa, dia tunjukan padaku. Setelah sadar, ternyata hanya ada aku, lelaki yang sedang berada di ruang tamunya yang sangat luas.

Aku sudah sedikit bisa mengenalinya. Setelah agak cermat aku memandangnya. Yap! Dia Malika.

Sosok yang sangat berbeda dengan  Malika yang dulu aku temukan di pinggiran hutan karet, kawasan Mijen.

Luar biasa perbedaannya. Dia yang dulu dekil dan kusam, sekarang nampak sangat bersih, putih dam cantik.

"Papa ..., ayo gendong dede. Cantikkkk kannnnn bayi kitaaaaa," celotehnya riang. Ah, aku dibuatnya salah tingkah. Bagaimana kalau keluarganya percaya ucapannya? Dikira aku betul Papa bayinya? Semprul!

Dia mengulurkan bayinya padaku. Aku terpaksa menggendongnya.

Nafasku naik turun dibuatnya. Aku menggendong bayi mungilnya. Walau dengan sedikit perasaaan takut.

Luar biasa! Keren. Aku tak menyangka, seorang Malika yang berasal dari keluarga yang terhormat seperti ini, mengalami nasib yang memilukan, sebelum aku menemukannya.

Allahuakbar..., aku bergidik. Ada apa dengan hidupnya sebelum ini. Ingin sekali aku bertanya. Tapi pasti Malika menjawabnya hanya dengan tawa cerianya saja. Kondisinya belum kembali normal.

'Muach muach muachhhhhhh'

Gila! Tiba-tiba, Malika menghujaniku dengan ciuman di pipiku. Ampun ya Rabb....

Tak puas mencium pipiku, Malika kembali mendaratkan bibir ranumnya tepat di bibirku.

Aku berusaha melepasnya, tapi dia memelukku erat, sambil menginjak kedua kakiku. Aku memegang erat bayinya, takut terperosot. Dia terus melumat bibirku dangan bibirnya, tanpa sedikitpun memberiku jeda waktu untuk bernafas.

"Heeyyyyy, kenapa kau tak membalasku? Kau sudah bosan padaku ya?" Suara Malika lantang.

Dia semakin menekan kakiku dengan sandal wedgesnya. Aku memekik. Sambil tetap aku pegang erat bayinya.

"Balas! Atau semakin aku injek kakimu!" Ancamnya kemudian.

Ya Tuhan, apa-apaan ini?

Bingung aku dibuatnya, dia semakin garang melumat bibirku. Dan dia semakin kencang menekan kakiku. Mau tak mau, akhirnya aku balas juga ciumannya.

Ah....

Bersambung😄😄😄😄

AKU NIKAHI KAU DENGAN BISMILLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang