12

34 2 0
                                    

AKU NIKAHI KAU DENGAN BISMILLAH

  "Arghhhhhhhhhhhhhggggggggg." Aku geram setengah mati, oleh ulah konyolnya.

"Woles, wolessssss Pap. Jangan kesurupan gitu dong. Kami hanya nebeng keluar rumah aja. Santai aja. Aku permisi ya. Terimakasih banyak ya Papa mancung." Malika meraih tas rangselnya yang cukup besar.

"Pap, tolong dong, gendongin si Ipah, bentar. Aku gendong rangselku dulu."

Tanpa bisa menolak, aku mengulurkan tangan, meraih bayinya yang dia panggil si Ipah.

Malika menggendong rangsel besarnya dengan susah payah. Mataku tak lepas memandangnya. Seribu macam perasaan berkecamuk dalam otakku.

"Ayo Ipah, lets gooooo. Tengkiyyuuu ya Papap. Muachhhhh."   Malika mencium pipiku dengan gerakan cepat.

Sial! Kecolongan lagi. Bisa hilang keperjakaanku kalau terus diserang ciuman bertubi-tubi.

Malika meraih si Ipah dari tanganku. Kemudian dia berlalu meninggalkanku.

Aku seperti patung, tak sepatah kata pun mampu aku lontarkan. Antara rela dan tidak, melihatnya lepas lagi di dunia yang kejam ini, untuk orang sepertinya. Hatiku bergejolak. Haruskah aku memanggil namanya? Agar dia menghentikan langkah kecilnya.

Aku menunggunya menoleh kebelakang, berharap dia menghentikan langkahnya.

Semenit ....

Dua menit ....

Lima menit ....

Langkahnya semakin jauh, menyusuri pinggiran jalan yang menanjak.

Ayo menoleh gadis gendheng! Menoleh lah kau ....

Dia tak menoleh juga. Spontan aku langsung berlari mengejarnya. Hati kecilku mengaatakan, dia membutuhkan sosok aku.

Ya Rabb, semoga keputusanku tak salah. Aku hanya ingin melindunginya, dari kejamnya kehidupan diluar sana.

"Malika!" teriak aku kencang.

Malika berhenti, menoleh ke arahku. Jantungku berdegub sangat kencang. Aku merasa, dia sangat bahagia, mendengar namanya aku sebut.

"Papap! Kau mencintaiku ya?"

"Eh busyet dah! Jangan bahas cinta hari ini. Dasar!"

"Tenang Pap, tenanggggg ..., jangan panik gitu. Woles Pap. Kan Papap tau sendiri, Mamap kan wong edan. Wong edan kui bebassss Pap!

"Hehhehehe, kamu emang top markotop. Makan duren dulu yuk. Kasian si Ipah. Capek. Sini aku bantu gendong dia."

"Ngemeng dong dari tadi. Ayoookkkk ah."

Malika menyerahkan si Ipah padaku. Aku menggendongnya kembali. Ada perasaan geli dan senang berjumpa dengannya kali ini. Setidaknya, walaupun kacau pembicaraannya, tapi dia sudah bisa berkomunikasi dengan baik.

...

  "Kenapa kau tutup hidung, Ma?"

"Astagaaaa, kau memanggilku Mamap. Omg! Im happy! You love me!"

"Eh dodol! Nama kamu kan Malika! Aku panggil kata depanmu! Ma, Malika! Bukan Mamap!"

"Hahhahahahha, woles, wolesss Pap! Jangan marah mulu! Enjoy aja keles!"

"Hehhehehhe iya juga sih. Kan koe wong edan yo cah!"

"Betullllllll. Wkkwkwkkwkwkwk." Malika terkekeh girang, sambil terus menutup hidungnya dengan tissue.

Aku terus menyantap duren kesukaanku. Nampaknya Malika hanya pura-pura senang, ketika aku ajak dia makan duren. Nyatanya dia tak menyentuhnya sama sekali.

"Kau tak suka duren, Ma?"

"Bukan tak suka. Tapi muak banget sama baunya!"

"Lah. Ngapain tadi kamu terlihat senang dan bahagia, aku ajak makan duren?"

"Kalau aku bisa pura-pura bahagia, untuk sekedar menemanimu, dan membuatmu senang. Why not?"

Astaga! Sebuah kalimat sederhana. Namun ada makna yang tersimpan didalamnya. Seorang Malika mengucapkannya dengan polos.

"Kau bahagia sekarang? Menemaniku makan duren?"

"Aku senang. Walau sebenarnya pengen kabur."

"Hahhahahhahaaaa."

"Wkwkkwkwkkwkkwkkwkwkkwkwkk." Kami terkekeh bersama.

Tak terasa, waktu begitu cepat berlalu. Sore pun tiba. Aku sangat senang, berbicara dengan Malika. Aku sangat bahagia, melihat bayi cantiknya yang dia panggil, Ipah.

...

  "Muachhhhhhh." Malika kembali mencium pipiku, di mobil. Kali ini dia duduk di jok depan. Sebelahku menyetir.

"Malika, bukan aku sok alim. Bukan aku menolak. Tapi, tolong hargai aku yang sudah mau peduli sama kamu. Kita bukan muhrim. Haram buat kita bersentuhan. Kau paham?"

"Baik. Maaf." Malika menunduk. "Serahkan saja semua dosanya padaku. Aku yang tanggung."

"Ok. Forget it. Sekarang kau mau kemana? Kau yakin tak ingin kembali kerumah?"

"Apa Papap tega, Papi menyiksaku setiap hari?"

"Tiap hari?"

"Yap."

"Setiap hari?" Aku mengulangi pertanyaanku. Berusaha mendapatkan jawaban yang pasti darinya.

"Tamparan dan pukulan, aku sudah kebal. Kata-kata kotornya yang keji, itu lebih sangat menyakitkan. Aku tak tau kenapa dia selalu memanggilku anak haram. Padahal namaku adalah Malika."

Ya Rabb, aku tercekat. Demi Tuhan, aku merinding dibuatnya. Sosok Marni, yang pernah singgah dalam hidupku, kini berganti pada sosok Malika di samping. Kenapa harus aku bertemu dengan mereka?

Apa salah dan dosaku Rabb ....

...

 
   Tiba-tiba bayinya menangis kencang, aku menepikan mobilku segera.

"Kenapa si Ipah?

"Haus."

"Ya udah. Kasih susunya."

"Aku tak pakai susu formula. Aku memberinya asi."

"Oh."

Malika dengan cepat membuka kancing bajunya, kemudian mengeluarkan salah satu anggota tubuhnya yang terlarang untuk di pertontonkan di muka umum.

Alamaakkkkkkkkk, busyet dah! Rejeki macam apa lagi ini? Aku tanpa sengaja melihatnya jelas di mataku. Bagian itunya yang sangat menggoda.

Ya Tuhan, tolong kuat kan imanku. Amin ....

Bersambung😆

AKU NIKAHI KAU DENGAN BISMILLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang