1. Bukan Hal Baik

722 27 9
                                    


Sial. Aku rasa satu kata itu begitu mewakili perasaan dan nasib hidupku saat ini.

Aku tahu, ini terdengar begitu sangat jelek dan tidak patut dicontoh. Akan tetapi, saat ini aku begitu kesal pada kedua orang tuaku.

Mereka dengan tega telah menjodohkanku dan menghancurkan mimpiku yang ingin melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi di luar kota.

Seraya berjalan mondar-mandir dengan rasa resah dan panik yang mendominasi, aku terus berusaha menghubungi Cika temanku. Satu-satunya orang yang kuharapkan bisa menolongku.

Atmosfer di sekitar rumah yang memanas dikarenakan dipenuhi banyak orang yang membantu persiapan pernikahanku semakin membuat diriku terbakar amarah. Belum lagi dentuman musik yang memekakan telinga.

Demi Tuhan, rasanya aku ingin mengumpat sekasar mungkin dan mengusir semua orang yang tengah bersuka cita di atas penderitaanku saat ini.

Namun, saat suara Cika di ponsel jadulku terdengar. Amarahku cukup mereda. Aku bergegas pergi ke sudut kamar agar tidak ada orang lain dari luar yang bisa mendengarkan percakapanku.

"Cika, apa tiket busku sudah kamu beli?" tanyaku dengan harap-harap cemas.

Namun, bukannya menjawab. Cika malah menangis meraung-raung hingga membuatku langsung menjauhkan ponsel dari telinga. Untuk beberapa saat.

"Hei! Kamu ini kenapa? Mengapa kamu malah menangis seperti ini?! Harusnya, yang menangis seperti itu adalah aku!"

"Dewiii ...." Cika merengek. Suaranya serak. Nampak seperti sudah menangis selama beberapa jam dan hal itu membuatku cukup curiga akan sesuatu.

"Ada apa?! Apa kamu kehabisan tiket?!" tanyaku. Panik sendiri seraya terus melirik ke arah pintu kamar berwarna putih yang terbuat dari kayu.

"Maafkan aku. Aku lupa membelikanmu tiket ...."

"Apa?!"

Mataku melebar kemudian langsung terpejam seraya mengepalkan tangan di udara, menahan amarah yang siap meledak bak bom atom Hiroshima dan Nagasaki.

"Memangnya apa yang kamu lakukan sampai bisa melupakan hal sepenting itu?!" Seraya mengeratkan gigi-gigi. Aku bertanya seraya berbisik.

"Maafkan aku. Aku masih memantau berita tentang Chan Hyun yang mengalami kecelakaan pesawat tempo hari lalu. Dia tenyata meninggal dunia dan aku bersedih, hingga lupa dengan apa yang kamu ucapkan."

"Cikaaa!" geram. Aku langsung membanting ponsel ke atas kasur lalu mengacak rambut dengan frustasi seraya menghentak-hentakkan kaki karena emosi.

Chan Hyun sialan! Sudah mati pun dia masih merepotkan orang lain!

***

Satu minggu yang lalu, tepat seusai pembagian hasil kelulusan sekolah, Cika dan beberapa teman perempuan lainnya dibuat heboh dengan sebuah berita jatuhnya pesawat pribadi penerbangan Australia-Korea Selatan.

Mereka menangis karena idola tercinta mereka, Park Chan Yeol. Ada dalam pesawat tersebut.

Park Chan Yeol adalah seorang anggota grup boyband asal Korea Selatan-ILV. Ia memiliki rupa yang sulit kubedakan dengan pria Korea lainnya. Karena menurutku, mereka semua hampir memiliki rupa yang sama persis.

Ah, tidak! Tidak! Lesung pipinya! Iya. Chan Yeol memiliki lesung pipi dan itu pun hanya ada pipi kirinya saja. Itu yang cukup membuatnya cukup mudah dikenali saat aku melihat fotonya yang berada di ponsel pintar Cika.

Aku mengetahui semua hal tersebut karena Cika sering memamerkan dan membahas tentang grup boyband ILV padaku, yang jelas-jelas selalu jengkel dan tidak ingin mendengarkan atau mengetahui hal-hal tidak bermutu seperti itu.

Hari malang tersebut pun bertepatan dengan ditetapkannya perjodohanku dengan seseorang yang bahkan tidak kusukai sama sekali.

Masih terbayang jelas saat Cika dan teman-temannya menangis meraung-raung karena menonton berita tentang kecelakaan Chan Yeol, sedangkan aku sendiri menangis karena meratapi nasibku yang tragis ini.

D&C: What Is Love? || Park Chanyeol ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang