16

100 8 2
                                    


Hampir satu bulan lamanya aku dan Chan berpura-pura menjadi suami-istri di rumah ini, karena Chan menunda jadwal penerbangannya. Rasanya aku mulai terbiasa dengan semua yang awalnya harus kulakukan atas perintah nenek Bella di sini.

Namun, tetap saja. Aku canggung bila Chan harus mencium keningku setiap ia akan pergi. Tapi untungnya selama beberapa hari terakhir ini Chan jarang pergi keluar, ke kedutaan, atau bandara. Selama di rumah ia membantuku mengasuh anak-anak Tante Dinda.

Saat mengasuh, Chan sangat perhatian dan lucu. Dia seperti suami sungguhan dan layak mendapat predikat ayah yang baik. Karena menjaga Inara dan Inaya dengan sungguh-sungguh. Kadang, aku sampai tertawa terbahak-bahak karena melihat perilakunya saat sedang bermain dengan Inara. Aku dibuat terpingkal-pingkal.

Kesehatan nenek Bella pun membaik. Diagnosis dokter itu sangat meleset. Aku sebenarnya cukup risih. Tapi bukan maksudku menginginkan nenek Bella cepat tiada. Bukan.

Aku risih karena aku takut bila aku dan Chan harus terus berperan seperti ini selamanya. Bagaimana caraku menjelaskan semuanya agar bisa diterima dengan baik dan tanpa menimbulkan rasa terkejut yang berlebihan pada nenek Bella? Aku sering memikirkan hal itu hampir setiap hari.

Sudah beberapa kali aku berencana memberi tahu nenek Bella yang sebenarnya namun Chan selalu memberiku ucapan 'Tunggu, bila ia mendadak terkena serangan jantung, bagaimana? Tunggu sampai aku pulang atau sampai keadaan Omah benar-benar baik-baik saja'

Baiklah, aku mulai jengkel dengan ucapannya. Karena, kata tunggu yang ia berikan tak pernah memberi kepastian. Chan tak kunjung pulang dan keadaan nenek Bella baru berangsur-angsur baik adalah belum lama ini.

Aku pusing, aku risih, aku setiap hari selalu bersama Chan, melayaninya, berprilaku seperti pasangan suami-istri, satu kamar, dan kadang aku atau dia tak sengaja memergoki satu sama lain saat baru keluar dari kamar mandi. Itu sangat memalukan.
Yang terparah. Kadang, bila aku dan Chan terpergok ribut oleh nenek Bella, hal itu sering berujung aku dan Chan harus tidur bersama dan nampak terlihat baik-baik saja.

Namun, ada yang paling parah. Aku ... aku juga mulai menyukainya dan terbiasa akan kehadirannya di sampingku.

Ah, demi Tuhan! Hatiku ini entah seperti apa dan bagaimana? Aku pun tidak mengerti mengapa semua ini bisa terjadi padaku.

Aku bahkan mulai berani pergi keluar bersama Chan seperti sekarang. Kami sedang berbelanja belanja bulanan keluarga.

Sebenarnya, awalnya yang akan pergi berbelanja bersamaku adalah Azril, karena Chan sedang marah lagi padaku. Kali ini dia marah karena kesalahanku lagi. Aku tak sengaja tidur di kamar Inara bersama Azril. Ini sungguh tidak sengaja. Untung saja ada Inara sebagai penengah. Jarak kami pun sangat jauh.

Chan terus saja diam membisu. Dia hanya mengambil dan memilih barang yang ada dalam daftar di tempat lain yang tak jauh dariku.

Aku pun sama, sedang memilih belanjaan sembari menunduk pada selembar kertas yang berisi daftar belanjaan.

"Baiklah, sekarang aku harus beli ... Lah, di atas. Tinggi banget lagi," ujarku saat barang yang kucari ada di susunan paling atas.

"Gimana cara ambilnya?" tanyaku pada diriku sendiri. Aku kebingungan kemudian melihat ke arah Chan. Berharap ia membantuku.

Namun, sayang. Chan tak menoleh sama sekali. Ah, lagipula mana mungkin ia membantuku. Ia sedang marah padaku. Aku kemudian melihat ke arah lain dan mendapatkan seorang OB laki-laki yang terlihat lebih tinggi dariku.

"Mas OB!" panggilku langsung ia respon.

"Bak panggil saya?" tanyanya memastikan.

"Iya, Mas. Bisa bantu saya bawain itu," ujarku sembari menunjuk barang di atas lemari sana.

D&C: What Is Love? || Park Chanyeol ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang