15

111 9 1
                                    

"Dewi, kamu sama Chan ketemu di mana?" tanya Azril di sela-sela aktivitas santai kami saat ini.

Aku sedang berada di teras rumah. Sedang bermain sambil menjaga Inara, Inaya, bersama Azril. Inara sebenarnya tak ada di tempat, dia sibuk mencari mainannya yang lupa ia simpan di mana. Chan sendiri sedang pergi ke bandara untuk menyelesaikan urusannya. Dan yang lainnya sedang pergi karena ada undangan pernikahan. Karena itu Inara dan Inaya bersamaku.

Hari ini hari terakhir ia membuat persyaratan. Beberapa hari lalu aku bahkan sudah memberikan keteranganku pada pihak pemerintah dan bandara. Juga, aku pun sudah berbicara pada ibu Chan lewat telepon, diterjemahkan Chan. Beliau sangat berterimakasih padaku karena telah menolong putranya itu. Sebenarnya pihak keluarga dan sahabat Chan sudah tahu Chan masih hidup. Namun, mereka masih merahasiakan kabar tersebut dari media dan orang-orang demi keamanan Chan yang masih berada di Indonesia.

"Aku ketemu Chan waktu--"

"Kak Bella! Kak Chan pulang!" teriak Inara dari ruang sebelah memotong ucapanku.

"Iya!" ujarku, "Kak Azril, maaf, titip Inaya dulu," ujarku sembari memberikan Inaya yang tadinya digendong pada Azril.

"Iya," ujar Azril menerima Inaya kedalam pangkuannya.

Sebenarnya, beberapa hari setelah aku sembuh. Aku mulai menjalankan aktivitas seperti ini. Hampir seperti istri sungguhan. Chan bahkan setiap akan pergi ke bandara selalu mencium keningku dan mencium tangannya.

Merepotkan memang.

Aku melayaninya seperti istri sungguhan karena tuntutan nenek Bella yang selalu mengawasiku dan Chan pula. Nenek Bella tak tahu jika Chan selalu pergi ke bandara. Yang ia tahu Chan pergi bekerja bersama Pak Hadi.

"Kak Bella! Cepetan!" ujar Inara saat aku beranjak dari tempat dudukku.

"Iya! Iya!" aku berjalan menghampiri Chan yang baru masuk ke dalam rumah.

Chan tak tersenyum padaku sama sekali. Ia sedang marah padaku karena satu hari yang lalu aku pergi jalan-jalan mengasuh Inaya dan Inara bersama Azril sembari membeli makanan pedas. Ia marah-marah padaku. Ia bilang aku tidak pernah memperdulikan kesehatanku sendiri, padahal aku baru saja mengalami keracunan. Ia juga tak pernah bertegur sapa pada Azril.

Entahlah, sikap Chan pada Azril itu sangat dingin. Bahkan, beberapa hari lalu ia pernah berbicara padaku bahwa Azril adalah orang tak baik, tapi aku tidak percaya. Bagaimana bisa ia menyimpulkan sesuatu  tanpa bukti seperti itu?

"Chan, kamu masih marah?" tanyaku berbisik saat ia tiba. Lalu aku langsung meraih tangannya dan menciumnya seperti biasa.

Chan tak menjawab. Ia hanya memegang kepalaku dan mencium keningku seperti biasanya pula.

Jujur, aku selalu cukup risih saat harus melakukan hal seperti ini setiap hari. Namun, baiklah, tak apa. Lagi pula hari ini adalah hari terakhir Chan di rumah ini. Besok ia akan pulang.

Namun, aku juga cukup kesal padanya. Ini hari terakhirnya di sini. Harusnya ia sudah tak marah padaku. Lagi pula mengapa harus marah? Aku baik-baik saja.

Chan menatapku datar. Aku tidak suka tatapannya yang seperti itu. Menyebalkan.

"Aku lapar," ujarnya,  tak seperti biasanya.

"Hah, bukannya kamu biasa langsung ke dapur? Kok, laporan sama aku?" tanyaku heran.

"Aku ingin makan masakanmu yang masih hangat dan baru," ujarnya dengan tenang tanpa ekspresi berarti.

"Apa?! Chan, aku di sini cuma istri bohongan, ya! Aku gak mau!" ujarku karena sedang malas memasak.

"Oh, ya sudah. Aku laporkan pada Omah," ujarnya mengancamku sembari akan berteriak memanggil nenek Bella, "Om--"

D&C: What Is Love? || Park Chanyeol ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang