1 - Hati-hati, Benci Bisa Jadi Cinta

26.7K 991 169
                                    

Padang, akhir 2005

Aku tidak membencinya. Sungguh. Hanya tidak terlalu menyukainya. Bukan masalah fisik. Karena menurut teman baikku, Sinta, dia termasuk kategori . Memang, sih, sekilas aku bisa menilai kalau wajahnya cukup... yah, seperti yang Sinta pernah bilang, di atas rata-rata. Entahlah, aku tidak terlalu memedulikannya.

Aku tidak membencinya, aku hanya tidak suka teman-teman membicarakan kami. Itu karena dia sering kali menunjukkan perhatian berlebihan ketika berada di dekatku. Tidak nyaman saja Malu rasanya. Perhatian itu yang membuat teman-teman sering menjodoh-jodohkan kami. Lalu, gosip semakin melebar karena kami berada di kepengurusan yang sama di kampus semester kedua ini.

"Tugas masing-masing sudah jelas, kan? Waktunya memang mepet, tapi insya Allah bisa kita kerjakan," ujar Kak Sidiq, ketua BEM Teknik, memberi penutup pada rapat sore itu. "Kita akhiri rapat dengan mengucap hamdalah."

Kami baru saja selesai rapat angkatan, membahas wisuda yang akan digelar sebentar lagi. Sudah menjadi tradisi, angkatan baru menjadi panitianya. Tentu saja, aku bukan satu-satunya perempuan di sini. , mahasiswi asal Bukittinggi yang berperawakan mungil dengan kerudung hitamnya. Kami beda jurusan, aku Industri, dia Sipil, satu jurusan dengan Al, laki-laki yang digosipkan denganku itu.

Setelah membereskan peralatan tulis, aku bersiap hendak pulang, sementara yang lainnya kudengar masih membicarakan hasil rapat barusan.

"Gimana, Mai?"

Aku menjengit ketika mengetahui seseorang tiba-tiba saja duduk di samping. Aku menoleh sekilas. Al menatapku dengan senyum di wajah. "Bisa, kan, stand by di sekre?" lanjutnya.

"Insya Allah." Aku mengalihkan pandangan dan menutup ritsleting ransel. Sebagai bendahara, aku bertugas menerima iuran dari wisudawan. Mau tidak mau, aku harus meluangkan waktu di sela-sela kuliah untuk berada di sekretariat BEM.

"Thanks ya, Mai."

"Sama-sama," balasku datar sambil menyampirkan ransel di bahu kanan, memberikan isyarat kalau aku tergesa untuk segera pulang.

Jangan salah sangka, bukannya aku jutek, hanya tidak mau dia mengira aku senang menerima perhatiannya.

"Mai." Aku mendongak dan melihat Riki ikut-ikutan duduk di samping Al. "Pulang sama siapa? Nih, Al bawa motor. Nanti diantar pulang sama dia aja."

Riki, anak Jakarta teman satu angkatan di kepengurusan, dia Elektro. Bisa dibilang, di mana ada Al, di situ pula ada Riki.

"Makasih, Ki. Sepertinya aku naik angkot saja," tolakku halus. "Duluan, ya."

Aku beranjak berdiri seraya pamit ke Ayu. Samar-samar, aku mendengar Al disoraki oleh teman-temannya.

Huh. Salah sendiri.

***

"Ciehhh. Asyik ni ye, diantar sama yayang Al," goda Sinta ketika aku sudah duduk di

Aku melirik malas pada perempuan dengan rambut lurus sebahu yang tengah menatapku dengan senyum jail di wajahnya. Ada cerita unik ketika awal kami berpapasan. Saat mata berserobok, ada kilasan-kilasan kejadian masa lalu, seperti dejavu, antara aku dan dia. Rasanya, kami pernah bertemu pada suatu masa, dulu sekali, tetapi entah kapan dan di mana. Padahal, kenyataannya kami baru kali pertama bersua. Aneh? Tidak juga. Aku pernah mendengar bahwa saat manusia masih di kandungan, ia telah diperlihatkan jalan hidupnya. Jadi saat mengalami dejavu, mungkin itu adalah sisa-sisa ingatan sewaktu di rahim ibu. Well, percaya nggak percaya, tetapi sejak kami menjadi dekat.

"Apaan sih, orang ketemu di depan," elakku. Aku memang bertemu dengan Al di gerbang ketika turun dari angkot. Dia menyapa, menyejajari langkahnya dengan langkahku, kubalas singkat.

Dearest Mai (Versi Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang