Aku terpaku menatap rumah tiga lantai berdisain minimalis di hadapanku. Masya Allah. Ini bahkan lebih besar dari yang di Pekanbaru. Bagian bawah sepertinya garasi. Cukup untuk memuat empat mobil. Dua di dalam, dua di carport.
"Masuk, Mai."
Aku mengalihkan pandangan ke Sandri yang sudah melangkah ke tangga menuju teras rumah.
"Eh, iya," jawabku tersadar dari lamunan. Aku menoleh ke Da Andy yang sedang menurunkan barang-barang dari bagasi mobil, tidak enak membiarkannya membawa semua barang-barangku.
"Duluan aja, Mai. Koper biar aku yang bawa," sahutnya.
Aku mengangguk, lalu mengikuti Sandri. Tante Martha sudah masuk terlebih dahulu. Sembari menapaki anak tangga, aku memperhatikan ayunan besi berbentuk kursi dua dudukan dengan busa berwarna marun yang terletak di taman. Ada penutup di bagian atas, membuat siapa saja yang duduk di sana tidak akan kepanasan. Pasti enak kalau sore hari duduk di sana sembari membaca novel atau belajar. Anganku sudah melayang jauh membayangkan hal tersebut.
Tidak banyak tanaman di sana, hanya rumput gajah mini dan pohon Tabebuya. Pokok kayu yang sama dengan yang kulihat di Pekanbaru. Ternyata bukan sakura, hanya mirip.
Sampai di teras ada sebuah bangku kayu panjang dan beberapa bonsai. Sepertinya penghuni rumah ini penyuka hal-hal berbau Jepang.
"Langsung ke dapur, Mai," seru Sandri dari dalam.
Aku mengucapkan salam ketika melangkahkan kaki ke dalam. Manik mataku langsung menikmati interior yang meneriakkan kata mahal. Mudah-mudahan mulutku tidak terbuka saking terpesonanya. Banyak sekali sofa di ruang ini. Ada satu buah sofa tiga dudukan, satu buah sofa dua dudukan, dan dua buah sofa satu dudukan. Masing-masing berbeda model dan warnanya. Namun, semua mengundang untuk duduk, apalagi dengan bantal-bantal kecil yang terlihat empuk dan enak dipeluk.
"Lho, nggak ke dalam?" Da Andy tiba-tiba sudah berada di sampingku.
"Eh, iya." Aku mengikutinya ke dalam. Kalau ruang tamunya saja sudah semewah itu... apalagi bagian dalam. Pastinya Pak Reza benar-benar pengusaha sukses.
"Ayo makan dulu, Mai," tawar Tante Martha. "Barang-barang biar dibawa Andy ke atas."
Aku melihat Da Andy membawa koperku menuju tangga dekat ruang makan. Sebenarnya ingin bertukar baju dulu, tetapi aku menurut, lalu duduk di meja makan kayu dengan kaca di atasnya. Aku bisa melihat serat kayu yang sudah di pernis sesuai warna aslinya. Meja ini cukup memuat delapan orang. "Tante yang masak?" tanyaku seraya melihat hidangan yang tersaji.
"Iya, dibantu sama asisten."
Sandri mengeluarkan minuman dingin dari kulkas, lalu mengangsurkannya padaku. "Kalau capek istirahat dulu aja, Mai. Entar gue anterin ke kamar."
Segera, aku mengangguk. Sepertinya mandi akan membuatku lebih segar.
Minum yang Sandri berikan sudah hampir habis ketika Da Andy kembali ke ruang makan.
"Ma, Andy pergi dulu, ya." Da Andy menghampiri Tante Martha, lalu mencium kedua pipi mamanya. Manis sekali.
"Baru datang kok sudah mau pergi lagi?" protes Tante Martha.
"Iya, lagi banyak kerjaan." Dia menoleh ke arahku. "Nggak apa-apa, kan, aku tinggal? Nanti kalau butuh apa-apa sama Sandri aja."
Aku mengangguk, walau merasa agak kehilangan. Suasana di rumah ini masih terasa asing, aku merasa lebih nyaman kalau Da Andy berada di sini. "Kapan aku mulai mengambil data?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dearest Mai (Versi Novel)
Teen FictionMai, gadis itu punya mimpi sederhana saja. Lulus kuliah dengan nilai bagus, menikah, dan tenang bersama keluarga. Namun, mimpi akan terasa sulit saat kau sudah bertemu cinta dan patah hati, bukan? Al, laki-laki yang selalu memberinya perhatian, diam...