11 - Menunggu Kabar

4.8K 460 15
                                    


Awal 2008

Aku kembali memeriksa inbox di laptop. Huh. Tidak ada. Sesibuk apa, sih, sampai membalas email saja tidak sempat?

Aku beranjak berdiri menuju tempat tidur, lalu merebahkan diri. Aku mengambil bantal, menutup muka rapat, lalu meluapkan kesal dengan berteriak. Tidak terlalu kencang, sih. Bisa-bisa Mak Tuo kaget nanti, dikira ada apa-apa.

Tidak lama, aku beranjak duduk dan mengambil ponsel di meja. Mengecek apakah ada SMS masuk. Nihil.

Aku mengembuskan napas panjang. Padahal dia yang berpesan untuk membalas email-nya. Sekarang... malah dia yang tidak membalas. Dasar.

Aku melihat jam dinding. Pukul delapan malam. Artinya di sana pukul sepuluh malam. Apakah dia sudah tidur?

Mataku tertumbuk pada laci meja. Aku beranjak berdiri dan membukanya. Mataku menatap sebuah kotak gold dengan pita senada di atasnya. Hadiah darinya ketika berpamitan, saat hendak berangkat ke Jepang dua pekan yang lalu.

Dia datang ke rumah dan memberikan kotak ini seraya berpesan untuk tidak membukanya sampai dia tiba di Jepang. Aneh. Tapi aku menurut.

Aku mengeluarkan kotak dari laci dan membukanya perlahan. Jemariku membelai halus satin lembut ungu muda. Sebuah gamis yang sangat cantik. Bahkan sampai sekarang aku takut untuk mencobanya. Lagi pula mau dipakai ke mana? Tidak mungkin ke kampus memakai pakaian semewah ini.

Sebagai balasan, aku juga memberinya sesuatu untuk di sana. Sebuah mushaf Alquran. Dengan pesan agar dia tidak lupa untuk membacanya setiap hari. Jepang itu negara bebas, kalau tidak hati-hati, bisa tergelincir.

Aku tidak tahu apakah Da Andy bisa membaca Alquran atau tidak. Aku juga tidak menanyakannya, yang aku tahu, Da Andy selalu salat saat sedang bersamaku. Beda dengan Al, kalau Al.... Huh, kenapa aku jadi membandingkan mereka, sih?

Aku juga tidak banyak tahu tentang masa lalu Da Andy, selain dia lahir di Pekanbaru dan ketika beranjak remaja pindah ke Jakarta. Oiya, satu lagi, Da Andy punya adik perempuan bernama Sandri. Adiknya itu sudah selesai kuliah dan sekarang sedang menjalankan usaha clothing line secara online.

Aku menutup kembali kotak dan memasukkannya ke laci. Setelahnya kembali mengecek ponsel. Masih tidak ada pesan masuk darinya. Ini baru dua pekan, masih ada beberapa bulan lagi. Aku menarik napas panjang. Ya Allah. Kenapa hatiku jadi tidak menentu seperti ini, sih?

Aku mencari kontak Sinta di ponsel, lalu meneleponnya.

"Sin, besok kuliah jam berapa, ya?" tanyaku setelah mengucapkan salam.

Sinta tertawa. "Ya ampun, baru ditinggal sebentar sama yayang aja sudah amnesia, lupa jadwal kuliah."

Aku mendengus pelan. "Ih, siapa yang amnesia?"

"Kenapa? Lagi nungguin kabar dari Da Andy, ya? Dia belum balas e-mail kamu?"

Tepat sasaran. Bagaimana Sinta bisa tahu? "Belum."

"Sabar aja, Mai. Dia kan ke sana bukannya liburan. Tapi pelatihan. Sama kayak kerja, lah. Apalagi Jepang. Kerja rodi."

Aku menghela napas. Betul juga apa yang Sinta bilang. Jepang memang terkenal disiplin. "Iya. Tapi... apa susahnya, sih, kirim kabar. Nggak sampai lima menit."

"Ya udah, kamu aja yang hubungi dia duluan," saran Sinta.

"Nggak, ah. Entar dikira ngarep lagi."

"Ck, ribet deh. Kalau emang kangen, ya SMS aja, sih. Pake gengsi segala."

"Ih, siapa yang kangen," kilahku.

"Kalau nggak kangen, kenapa galau?"

Aku tidak menjawab. Aku tidak galau, kok. Hanya... kesal. Kenapa dia belum membalas email-ku.

"Udahlah, Mai. Percaya aja sama Da Andy. Kalau sudah nggak sibuk dia pasti balesin e-mail kamu, atau kirim SMS."

Aku mengangguk meski Sinta tak bisa melihatku. Setelah mengucap salam, aku mematikan ponsel. Sebaiknya aku segera berwudu dan salat lalu tidur. Lupakan dulu Da Andy. Lupakan. Lupakan.

***

Aku menghela napas panjang setelah membaca SMS darinya. Pesannya masuk satu jam yang lalu, saat aku tidur. Balas nggak, ya? Nanti saja, biar dia merasakan bagaimana penantian panjang menunggu balasan yang tak kunjung datang.

Aku meletakkan ponsel di meja.

Satu menit.

Tiga menit.

Lima menit.

Tidak tahan, aku meraih ponsel dan membalas SMS-nya.

Nah, sudah. Apakah perlu kutanyakan kabarnya?

Belum sempat mengetik, tiba-tiba sebuah pesan masuk. Aku sudah senang, mengira dia membalas SMS-ku, ternyata bukan. Dari Al.

"Mai, boleh aku telepon?"

Mau apa Al pagi-pagi begini menelepon. Nanti juga ketemu di kampus.

"Boleh."

Tidak lama ponselku berdering. Aku mengangkatnya.

"Ada yang ingin aku sampaikan," ujarnya setelah kubalas salamnya. "Sebenarnya ini usulan dari beberapa teman. Awalnya aku juga ragu."

"Apaan?" Aku penasaran.

"Rencana aku mau mencalonkan diri untuk pemilu nanti."

Aku tertegun. Al mencalonkan diri? "Ketua BEM? Serius?"

"Kenapa? Nggak layak, ya?"

"Eh, bukan. Bukan begitu. Maksudku... tentu kamu layak. Cuma, yakin bisa bagi waktu?"

Al mengembuskan napas. "Apa nggak usah aja?"

"Loh, kok nggak usah? Tadi katanya mau mencalonkan diri?"

"Mungkin kamu benar. Sekarang saja aku sudah keteteran."

Waduh, kenapa jadi berubah pikiran secepat itu? "Jangan mundur dong, Al. Teman-teman kan udah support kamu, tandanya mereka tahu kamu mampu. Nanti malah kecewa kalau kamu tidak jadi mencalonkan diri."

"Kamu yakin aku bisa?"

"Aku yakin kamu bisa."

"Kamu jadi tim suksesku, ya? Kalau kamu nggak mau, aku nggak jadi maju."

Aku menarik napas. "Iya, deh. Nanti aku ajak Sinta sama Ayu sekalian."

"Thanks, Mai."

Setelah mengucapkan salam aku mematikan ponsel.

Aku mengecek inbox, masih belum ada pesan masuk darinya. Sudahlah, berpikir positif saja, Mai. Mungkin memang sibuk. Atau... mungkin tidak penting untuk membalas SMS-ku. Aku mengembuskan napas panjang. Lupakan. Lupakan. Lupakan.

***


Dearest Mai (Versi Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang