Ruang tamu rumah Mak Tuo adalah tempat favoritku untuk mengerjakan tugas. Ruangannya besar dengan banyak jendela. Cahaya matahari seolah berebut untuk masuk, ditambah angin sepoi-sepoi dari ventilasi dan jendela yang terbuka. Membuat betah berlama-lama.
sambil menunggu Ni Nana pulang dari kampus. Sepertinya masih ada berkas-berkas yang diurus Ni Nana untuk beasiswa ke Malaysia. Ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan berkaitan dengan gambar mesin yang aku buat.
Uni Nana adalah anak pertama Mak Tuo dan kuliah di Mesin, tetapi kami beda kampus. Aku sangat mengagumi Ni Nana, bisa lulus cum laude dan mendapat beasiswa ke luar negeri. Mudah-mudahan aku bisa mengikuti jejaknya.
Ketika sedang khusyuk, terdengar suara mengucapkan salam dari luar.
"Wa'alaikumussalam," jawabku masih mengerjakan gambar. "Masuk Ni, nggak dikunci." Aku mengenali suara itu,
Tak lama, terdengar suara berdecit dari engsel. Posisi yang membelakangi pintu masuk, membuatku tidak bisa melihat langsung siapa yang datang.
"Lagi ngapain, Mai?" tanya Ni Nana.
Aku menoleh. Mataku tiba-tiba melebar. Ni Nana tidak datang sendirian. Ada dua orang laki-laki di belakangnya. Untung saja aku memakai gamis rumah dan kerudung. "Eh, lagi ngerjain tugas, Ni," jawabku gugup.
"Ooo...."
Aku menunggu dengan rikuh. Apakah beranjak berdiri dan menyapa kedua teman Ni Nana, atau...?
"Oya, kenalin, Mai. Ini Pak Andy, ini Pak Roy." Ni Nana menunjuk pada temannya.
Aku mengangguk sopan seraya tersenyum kecil.
"Duduk dulu, saya ke dalam mau ambil gambarnya." Ni Nana berlalu, meninggalkanku bertiga dengan teman-temannya. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku bicarakan? Aku merasa salah tingkah sendiri.
"Halo, Mai, ya?" Laki-laki yang tadi diperkenalkan sebagai Pak Andy menghampiri, lalu ikut bersila di sampingku.
"Eh, iya, Pak," jawabku gugup.
Pak Andy melihat gambarku di meja dengan saksama. "Jangan panggil, Pak. Berasa tua. Panggil Uda, aja."
Uda? Walau bingung, aku mengangguk.
Teman Ni Nana yang bernama Pak Roy ikut pula duduk di hadapan. "Tugas kuliah?" tanyanya. Pak Roy berkulit lebih gelap. Tubuhnya tidak setinggi Pak Andy, tapi rautnya terlihat ramah dan murah senyum.
Aku mengangguk. Sekarang keduanya sedang mengamati kertas gambarku.
"Ini kayaknya salah, ya, potongannya?" komentar Pak Roy. " gimana, Ndy?"
"Salah dikit aja, bisa diperbaiki." Dia mengambil penghapus, pensil, , peralatan yang biasa digunakan untuk gambar teknik. Tangannya dengan lihai bergerak di atas kertas. Aku bergeming. Ya ampun, sebenarnya apa yang sedang terjadi?
"Ini gambarnya." Ni Nana menghampiri kami sembari membawa gulungan kertas kalkir di tangan.
Aku melihat Pak Roy beranjak berdiri, lalu mendekat ke Ni Nana. Pak Andy masih asyik mengutak-atik gambarku. Aku masih tidak tahu harus berbicara apa. Bingung.
"Mai, mau dijelasin, , gambarnya?" tanya laki-laki itu mengagetkanku. Melihatku bereaksi, dia tertawa kecil. Aku melirik sekilas, ada kerutan di ujung matanya.
"Eh, iya, mau, Pak." Aku menjawab gugup.
"Jangan, Pak, dong. Uda aja," ralatnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dearest Mai (Versi Novel)
Teen FictionMai, gadis itu punya mimpi sederhana saja. Lulus kuliah dengan nilai bagus, menikah, dan tenang bersama keluarga. Namun, mimpi akan terasa sulit saat kau sudah bertemu cinta dan patah hati, bukan? Al, laki-laki yang selalu memberinya perhatian, diam...