Aku meregangkan tangan, lalu mengangkatnya ke atas. Hmmm... rasanya pegal-pegal karena terlalu lama duduk. Sudah satu jam aku membaca literatur yang menunjang penelitian, mata terasa perih.
Aku beranjak berdiri dan mengambil kerudung, dari tadi ingin buang air kecil, tapi kutahan. Kebiasaana tidak baik, memang. Perlahan aku membuka pintu, lalu menuju kamar mandi. Setelah selesai, alih-alih kembali ke kamar, aku melangkahkan kaki menuruni anak tangga. Sejak tinggal di sini, setiap malam biasanya aku membawa air minum ke kamar, karena capek kalau harus naik turun tangga saat haus. Kali ini aku lupa.
Sampai di bawah aku langsung menuju dapur dan menyalakan lampu. Baru hendak mengambil mug di lemari, sebuah suara mengejutkanku.
"Mai?"
"Innalillahi!" seruku seraya membalikkan tubuh ke arah suara.
Allah. Seseorang duduk di sofa ruang tengah. Da Andy? Sedang apa malam-malam begini di sini? Sekarang sudah pukul dua belas malam. "Kenapa di sini?" Suaraku masih bergetar karena kaget.
Dia mengusap muka seraya beranjak berdiri. "Aku baru sampai." Da Andy menghampiriku. "Sepertinya ketiduran di sofa."
Pantas saja ketika turun aku tidak melihat siapa-siapa. Jantungku berdetak lebih cepat, bukan karena terkejut. Entah kenapa selalu seperti itu ketika berada di dekatnya. "A-aku mau ambil minum." Aku mengambil mug di lemari lalu mengisinya dengan air dari dispenser.
"Mai," panggilnya lagi.
Mugku sudah terisi penuh. Aku berbalik menghadapnya. "Ada apa?"
"Nggg...." Dia terlihat hendak mengatakan sesuatu, tetapi ragu. "Gimana perkembangan tugas akhir? Lancar ngambil datanya?
"Alhamdulillah." Kami memang jarang bertemu, karena Da Andy lebih banyak berada di Padang. Saat akhir pekan saja dia di Jakarta.
"Kalau kamu butuh bantuanku, just ask, okay"
Aku mengangguk kecil. Dia selalu baik dan perhatian seperti biasa. "Aku ke atas dulu," beritahuku tanpa menunggu jawabannya. Untunglah Da Andy tidak mencegahku.
Ketika sampai di kamar aku meletakkan mug di meja dan duduk sembari menarik napas panjang untuk meredakan degup jantung yang bertalu.
Ketika dia "menembakku" di hypermart dua pekan yang lalu, aku tidak memberikan jawaban. Aku merasa malu dan kami sedang berada di tempat umum. Apalagi tiba-tiba Sandri dan Tante Martha datang menghampiriku. Sesudahnya Da Andy tidak pernah lagi mengungkit hal itu.
Tadinya aku takut Da Andy akan menanyakan jawabanku ketika kami bertemu barusan, syukurlah tidak. Walaupun sepertinya ada sesuatu yang ingin dia katakan. Sudahlah, lebih baik aku fokus menyelesaikan skripsi dulu, hal lain tidak perlu dipikirkan.
Aku beranjak berdiri menuju tempat tidur. Ketika duduk dan hendak mengambil selimut, aku menyadari sesuatu. Ya Allah, pakaianku. Aku turun menggunakan piama dan... tanpa kaus kaki. Apakah Da Andy menyadarinya?
***
"Aku masih belum percaya kalau kamu sama Al benaran lagi di Jakarta," ujarku senang di telepon.
Aku mendengar tawa Riki di ujung sana. "Sudah semingguan gue sama Al di sini."
"Kok nggak ngabarin?" protesku.
"Ini gue lagi ngasih tahu," candanya.
Aku mendengus pelan. "Sibuk nggak? Kapan bisa ketemuan?" Tiba-tiba saja aku kangen suasana kampus, tiga pekan di kota yang asing membuatku merasa seorang diri. Jujur aku rindu dengan teman-temanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dearest Mai (Versi Novel)
Teen FictionMai, gadis itu punya mimpi sederhana saja. Lulus kuliah dengan nilai bagus, menikah, dan tenang bersama keluarga. Namun, mimpi akan terasa sulit saat kau sudah bertemu cinta dan patah hati, bukan? Al, laki-laki yang selalu memberinya perhatian, diam...