18 - Dilema

4.6K 524 27
                                    


"Sepertinya sudah semua." Da Andy memindahkan laptop dari pangkuannya ke meja kaca ruang tamu. "Kamu sudah siap untuk sidang proposal."

Aku menatapnya dengan pandangan belum yakin sepenuhnya. Benarkah? Rasanya masih belum sempurna. Ada yang ingin aku perbaiki lagi.

Dia tersenyum kecil. "Percaya sama aku, Mai. Kamu sudah siap."

Suaranya terdengar yakin, mau tidak mau aku terpengaruh. "Insya Allah."

"Begitu sudah disetujui sama pembimbing kamu, kita langsung ke Jakarta untuk mengambil data," tambahnya.

Aku mengangguk kecil. Alhamdulillah. Kalau semua berjalan sesuai rencana, aku bisa lulus dalam waktu empat tahun dengan predikat cum laude. Seperti impianku selama ini.

"Habis ini ke kampus?" tanyanya.

Aku melihat jam dinding. Sebentar lagi Zuhur, aku ada kuliah sekitar pukul dua. "Iya, masih lama."

"Bareng aku aja."

Eh? Bareng Da Andy ke kampus? "Nggak usah, Da."

"Nggak apa-apa. Lagian searah, kok. Aku lagi ada proyek di bandara." Dia kekeuh. "Ya...?"

Bagaimana baiknya? Apakah aku tolak secara halus? Aku bisa bilang kalau aku bareng Sinta ke kampusnya. Namun, wajah Da Andy terlihat penuh harap. Kenapa rasanya tidak tega untuk membuatnya kecewa?

Sudah lewat dua bulan sejak dia datang ke rumah dan meminta maaf. Aku kembali membuka diri dan menerimanya. Waktu ternyata bisa mengubah semua. Aku merasakan perubahannya, dia lebih tenang dan banyak mengalah. Dia banyak membantuku dalam proses pengerjaan proposal tugas akhir.

Kesibukan di pekerjaan membuatnya kerap lembur dan lebih banyak bepergian ke luar kota. Aku dan Da Andy lebih banyak komunikasi lewat SMS dan e-mail. Pertemuan kami juga bisa dihitung dengan jari, dia mampir sebentar ke rumah Mak Tuo ketika pulang dari luar kota untuk mengantar oleh-oleh.

"Katanya ini Bika Ambon paling enak di Medan," ujarnya kala itu. "Mak Tuo suka Bika Ambon, kan?"

Aku tersenyum mengingatnya. Setiap perhatian yang dia berikan membuatku kembali merasa nyaman dengan keberadaannya. Seperti saat ini, dia baru saja mendarat dari Jakarta dan langsung ke sini untuk memeriksa proposal tugas akhir yang akan aku kumpulkan ke pembimbing besok.

Hatiku menghangat ketika tahu dia peduli padaku. Terasa ada yang berbeda dalam hati. Aku merasa senang mendapat perhatian lebih darinya. Bolehkah aku memiliki perasaan seperti ini?

"Mai." Panggilan Da Andy membuatku tersadar dari lamunan. "Aku antar, ya?"

Aku tidak kuasa menolak tawaran yang diberikannya, tidak bila dia memasang wajah berharap seperti itu.

Aku mengangguk kecil. Hanya mengantar ke kampus, seharusnya tidak menjadi masalah, kan?

***

"Dahulukan adab sebelum ilmu. Seperti halnya Rasulullah shallallhu 'alaihi wassalam diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia," tausiahku pada peserta mentoring agama Islam di masjid kampus siang ini.

"Jangan sampai teman-teman sudah mendapatkan ilmu, lantas merasa tinggi hati, sombong," lanjutku. "Perhatikan bagaimana akhlak kita, terutama kepada orangtua, jaga lisan agar tidak menyakiti hati mereka.

"Ilmu yang banyak akan sia-sia ketika orang lain di sekitar merasa tidak nyaman dengan keberadaan kita. Mereka malah menjauhi. Mungkin karena lisan atau perbuatan kita yang tidak pada tempatnya."

Dearest Mai (Versi Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang