Karena jarak masjid cukup jauh, Al dan Riki memilih untuk salat di rumah. Aku menyiapkan sajadah untuk digelar di ruang tengah, dibantu Sandri.
"Al oke juga," ujar Sandri sembari menggelar karpet.
Aku meliriknya dengan pandangan heran. Tidak ada angin ,tidak ada hujan, kenapa Sandri mengucapkan hal random seperti itu? "Maksudnya?"
Sandri hanya tersenyum kecil sembari mengangkat bahunya. "Just saying."
Kami sempat mengobrol banyak tadi di ruang tamu. Tentang kerja praktik Al dan Riki, tentang skripsiku, tentang kampus, dan hal lain. Aku tidak membahas lebih jauh tentang Da Andy. Aku hanya menginformasikan kalau ini adalah rumah orangtua Da Andy dan selama di Jakarta aku tinggal di sini. Al dan Riki juga tidak bertanya lagi sesudahnya. Syukurlah.
"Apa dia punya pacar?" Pertanyaan Sandri membuatku tersentak. Aku cepat mengendalikan diri dan menggelar sajadah di atas karpet.
"Sekarang nggak tahu, tapi... dulu pernah." Aku memang tidak tahu apakah perempuan itu, siapa namanya? Mira? Apakah mereka masih pacaran atau tidak, itu bukan urusanku. Sejujurnya aku juga tidak terlalu peduli, selama Al masih bersikap seperti biasa kepadaku.
"Wow, jadi dia pernah pacaran? Kirain gue, dia sama kayak lo. Nggak pacaran," selorohnya. "Ternyata gue salah."
Rasanya aku ingin membalas perkataan Sandri barusan dan membela Al. Namun... apa yang dikatakan Sandri benar. Al memang pernah pacaran.
Tidak lama Al dan Riki kembali dari mengambil wudu di kamar mandi. Kami salat sunah qobliyah Zuhur dulu sebelum salat berjamaah. Kali ini Al menjadi imam.
"Saf rapat dan lurus," ujar Al ketika Riki selesai mengumandangkan ikamah. Dia melirik sekilas ke belakang.
Aku merapat ke Sandri, sampai tumit kami bersentuhan.
Al melafalkan takbiratulihram dengan takzim.
Betapa aku merindukan momen seperti ini. Hati terasa damai dan tenang. Sedari dulu aku menginginkan seorang suami yang bisa menjadi imam. Bukan hanya imam salat, tapi imam dalam keluarga. Membimbingku untuk mendekat kepada Allah. Tahajud berjamaah, tilawah sampai Subuh, zikir bersama. Allah... impian itu begitu kuat.
Selesai salat dan zikir, kami menambah salat sunah ba'diyah Zuhur.
"Temani mereka makan, Mai. Gue mau nelepon Mama dulu," ujar Sandri setelah membereskan peralatan salat.
"Nggak apa-apa aku duluan makan?" tanyaku merasa tidak enak.
"Apaan, sih, Mai. Kayak sama siapa, aja." Sandri menepuk bahuku ringan sebelum melangkah ke tangga dan menuju kamarnya.
Aku memanggil Al dan Riki yang berada di ruang depan. "Makan, yuk."
Al dan Riki beranjak berdiri dari sofa. "Nggak ngerepotin, nih?" Riki basa-basi. Biasanya dia paling cepat kalau urusan makanan.
"Nggak, kok." Aku mengajak mereka ke ruang makan.
"Sandri mana?" tanya Al ketika kami sudah duduk.
"Nanti nyusul. Dia lagi nelepon mamanya." Tante Martha dan Om Reza sedang berada di Pekanbaru sejak dua hari yang lalu.
"Ooo...." Al tidak bertanya apa-apa lagi sesudahnya.
Aku mengambil piring dan menyendok nasi. "Cukup, Al?" tanyaku sembari mengangsurkan piring kepadanya.
"Cukup." Al menerima piring yang aku berikan. "Kalau kurang boleh nambah, kan?" candanya.
"Boleh, tapi cuci piring sendiri," balasku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dearest Mai (Versi Novel)
Novela JuvenilMai, gadis itu punya mimpi sederhana saja. Lulus kuliah dengan nilai bagus, menikah, dan tenang bersama keluarga. Namun, mimpi akan terasa sulit saat kau sudah bertemu cinta dan patah hati, bukan? Al, laki-laki yang selalu memberinya perhatian, diam...