16 - Distance

4.9K 497 23
                                    


Siapa namanya? Lidia?

Dengan rikuh, Da Andy melepas rengkuhan perempuan itu. Aku menatap ke arahnya, dia pun balas menatapku.

"Sudah semua barangnya?" tanya Lidia. "Langsung aja, gue bawa mobil."

Pandangan Da Andy beralih ke Lidia. "Eh, gue...." Matanya kembali kepadaku.

"Kenapa?" Lidia mengikuti arah pandang Da Andy dan mengamatiku. "Lo kenal?"

Da Andy mengangguk. "Sebentar." Dia menyeret koper, lalu berjalan ke arahku.

Aku bergeming, benar-benar tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Pertemuan ini tidak seperti yang ada dalam bayanganku.

"Hai, Mai," sapanya dengan senyum lebar. Matanya terlihat berbinar.

"Ha-hai." Aku tidak berani berlama-lama menatap matanya.

"Sudah lama?"

"Ba-baru. Iya, Sin?" Aku mengalihkan pandangan ke Sinta. Raut sahabatku itu juga masih belum lepas dari rasa terkejut.

"Eh, iya, belum lama."

"Naik apa ke sini?" tanyanya lagi.

"Sinta bawa mobil."

"Andy. Kita langsung pulang, kan? Teman-teman kantor sudah menyiapkan pesta kecil buat lo." Aku merasakan Lidia mendekat.

"Pesta? Tidak ada yang menyebut tentang pesta." Suara Da Andy terdengar heran.

"It's a surprise party, duh," balas Lidia.

"Tapi, gue nggak bisa," sergah Da Andy.

"Lo ada acara lain?" tanya Lidia dengan nada heran.

"Iya... gue ada...."

"Aku dan Sinta mau langsung pulang," potongku cepat. Jelas sekali aku mengganggu acaranya untuk kumpul bersama teman-teman. Aku melihat Da Andy sekilas, lalu mengalihkan pandangan ke Sinta, memintanya untuk mendukung ucapanku barusan.

"Tapi...," protes Da Andy.

"Iya, kami ada acara lain setelah ini," imbuh Sinta.

Aku mengangguk sambil menatap Da Andy, berusaha meyakinkannya. Dia terlihat tidak percaya. Namun, apa peduliku.

"Gue nggak bisa ikut," ujar Da Andy pada Lidia, "maaf, mungkin lain kali."

Wajah Lidia terlihat kecewa. Dia pasti sudah mempersiapkan pesta ini jauh-jauh hari.

"Uda bisa pergi bersama... Kak Li-Lidia." Lidahku terasa kaku ketika menyebut namanya. "Aku dan Sinta benar-benar harus pergi. Lagi pula, kita sudah bertemu, kan?"

Aku melihat Da Andy menaikkan alis, aku tak yakin apakah wajah itu terlihat kecewa atau kesal. Namun, sekali lagi, apa peduliku?

Mendengar ucapanku, wajah Lidia cerah seketika, aku melihat dia serta-merta menggaetkan tangan ke lengan Da Andy. Membuat dadaku terasa nyeri, entah untuk alasan apa. Da Andy bukan siapa-siapaku, kan? "Sebaiknya jangan ganggu acara mereka, Ndy," ujar perempuan itu.

"Kami duluan," ujarku sembari tersenyum kecil pada Da Andy. "Welcome to Padang, Da. Assalamua'laikum." Lantas, aku berbalik.

Tiba-tiba, aku merasa ada tangan yang menahan lenganku. Aku menjengit sambil menatap tangan yang memegang. Mataku beralih kepada Da Andy seraya menepis. Dia tidak terlihat menyesal, malah seperti kesal. Seharusnya aku yang marah, seharusnya dia tidak sembarangan menyentuhku.

Dearest Mai (Versi Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang