"Jadi, siapa kira-kira pengisi materinya, ya Mai, kalau Pak Andy nggak bisa?" Al bersedekap. Hanya ada kami berdua di sekre. Aku minta bertemu untuk memberi tahu perihal kuliah umum.
Aku berdecak kesal. Kenapa semua orang terlalu berharap pada Da Andy?
"Apa aku perlu bicara dengan Pak Andy?" Al menawarkan diri.
"Eh, jangan," cegahku, "nggak perlu."
"Kenapa?" tanyanya seraya menyipitkan mata.
"Eh... itu...." Sebenarnya, Da Andy tidak benar-benar mengatakan tidak. Dia bahkah belum memberikan keputusannya. Kami malah sibuk bicara hal lain. Benar-benar pertemuan yang menguras emosi.
Seketika terbayang pertemuanku dengannya dua hari yang lalu. Ketika dia menanyakan maksud kedatangan, aku menjelaskan dengan terbata.
"Ka-kami da-dari Fakultas Teknik a-akan mengadakan kuliah umum bulan depan. Dari panitia meminta kesediaan Pak Andy untuk mengisi kegiatan tersebut." Keringat dingin membasahi dahiku.
Da Andy tidak bersuara. Aku memberanikan diri melirik. Matanya lekat melihatku. Jantung rasanya mau lepas. Tajam sekali pandangannya.
Aku berdeham pelan. "Ja-jadi bagaimana, Pak?"
"Kenapa kamu tidak membalas SMS-ku? Atau mengangkat teleponku?" tanyanya lugas.
Aku terkesiap. Ya Allah, jangan pertanyaan ini. Kenapa dia mengungkitnya? Sekarang giliranku yang hening.
"Mai," panggilnya lagi. "Kenapa?"
"T-tidak apa-apa."
"Maksudmu, tidak apa-apa? Bicara yang jelas, Mai," perintahnya.
"Sa-saya ke sini bukan untuk membahas hal itu, Pak." Aku menguatkan hati. "Saya hanya ingin tahu apakah Pak Andy bisa mengisi kuliah umum di kampus kami?"
"Lupakan tentang kuliah umum. Aku tidak peduli. Sekarang jelaskan kenapa kamu menghindar?" cecarnya.
"Kalau Pak Andy tidak bisa, sebaiknya saya pergi sekarang." Aku beranjak berdiri. Mulai tidak nyaman dengan suasana.
"Kita belum selesai." Dia ikut bangkit. "Duduk."
Aku bergeming. Enak saja main perintah. Aku tidak akan mengikutinya kali ini. "Maaf, Pak. Saya permisi." Kakiku melangkah menuju pintu. Tiba-tiba, sebuah tangan menahan lenganku. Otomatis kepalaku menoleh.
Pandangannya terasa menusuk. Ada kemarahan sekaligus kesedihan di sana.
"Lepaskan!" Aku menepisnya.
Ketika hendak keluar, dia berdiri di depan pintu, mencoba menghalangiku. "Duduk. Mari kita bicarakan baik-baik." Suaranya melunak.
Aku mendengus. Tidak percaya dengan perkataannya.
"Aku hanya butuh penjelasan, Mai. Kamu tidak membalas SMS dan teleponku. Kamu juga tidak mau menemuiku. Untung saja aku tidak nekat datang ke kampus. Apa salahku?"
Aku mematung.
Dia menarik napas panjang seraya tertawa kecil. Seolah menertawai dirinya sendiri. "Hampir enam bulan aku menahan diri. Enam bulan di Jepang, Mai. Bisa kamu bayangkan?"
Dadaku terasa sesak. Sesuatu yang kupendam jauh di dasar hati mencari jalannya untuk keluar.
"Melihatmu di bandara ketika itu... adalah saat yang aku nantikan. Hanya itu yang ada di pikiranku. Kamu."
Pandanganku kabur. Jangan menangis, Mai.
"Aku hanya butuh penjelasan, Mai. Kenapa? Kenapa kamu menghindar? Kenapa kamu sengaja menjauh? Apa salahku?" ulangnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dearest Mai (Versi Novel)
Teen FictionMai, gadis itu punya mimpi sederhana saja. Lulus kuliah dengan nilai bagus, menikah, dan tenang bersama keluarga. Namun, mimpi akan terasa sulit saat kau sudah bertemu cinta dan patah hati, bukan? Al, laki-laki yang selalu memberinya perhatian, diam...