Dadaku berdebar kencang. Mata menatap layar laptop dengan harap-harap cemas. Sebentar lagi terhubung. Benar saja. Wajahnya terlihat di sana. Ya Allah, perutku kembali mulas.
Senyumnya terkembang. "Hai, Mai."
"Ha-hai," jawabku gugup sembari berusaha tersenyum.
Hari ini dia libur dan mengajak untuk skype-an. Sudah beberapa pekan ini komunikasi kami kembali lancar. Kebanyakan SMS, sesekali email apabila mengirim kabar yang agak panjang dan disertai foto.
Dia baru saja berlibur ke Osaka pekan lalu. Di sana sudah masuk musim dingin. Da Andy bercerita tentang kunjungannya ke kastil dan akuarium terbesar, Kaiyukan.
"Kamu pasti suka, Mai. Seperti berada di bawah laut," ceritanya di email.
Foto-foto yang dikirimnya membuatku kepingin ke sana. Sudah sering aku mendengar cerita tentang Jepang yang indah, bersih, dan ramah. Banyak wisata keren di sana. Insya Allah, suatu hari nanti aku akan menginjakkan kaki di bumi Allah yang terkenal dengan negeri matahari terbit itu.
"Sudah siap berangkat?" tanyanya.
Aku mengangguk, walau masih ragu. Akhirnya memutuskan untuk ke Pekanbaru. Aku sudah bicara dengan Ayah dan Bunda, Pak Tuo dan Mak Tuo juga sudah kuberitahu. Mereka setuju saja, karena aku bilang ada teman di sana. Bukan teman sebenarnya, tapi Sandri, adik Da Andy.
Saat ini Sandri lebih banyak menghabiskan waktu di Pekanbaru karena sedang mengurus usahanya di sana. Dia sedang mencoba untuk membuka toko untuk bisnis clothing line yang sebelumnya dijalankan secara online.
Aku belum menghubungi Sandri, padahal Da Andy sudah memintaku untuk segera menelepon adiknya itu.
"Good. Kamu tidak perlu khawatir, aku sudah menyiapkan semuanya."
Penjelasannya barusan membuatku sedikit lega. Mudah-mudahan semua berjalan lancar.
"Al? Al anak Sipil itu?"
"Iya, Uda ingat?"
Rautnya berubah. "Iya, aku ingat," ujarnya datar.
"Pemilunya pekan ini, jadi lumayan sibuk."
"Apakah aku mengganggu?"
Aku mengernyit heran. "Maksdunya?"
"Ya... siapa tahu kamu sibuk mengurus pemilu dan aku mengganggu kegiatanmu."
"Nggak, kok." SMS dan email-nya tidak pernah menggangguku. Malahan selalu ditunggu.
Dia menatapku lekat. Lama-lama aku jengah.
"Kenapa?" tanyaku ketika dia diam saja.
Senyum lebar menghiasi wajahnya. "Kamu cantik."
Ya Tuhan. Wajahku pasti merona. Aku salah tingkah dibuatnya. Tidak tahu harus berkata apa. Hanya menunduk.
"Mai," panggilnya.
Aku menengadah, meliriknya.
"Are you single?"
Kenapa dia menanyakan pertanyaan ini, sih? Lagi pula, apa pentingnya menanyakan statusku?
"Are you, Mai?" ulangnya ketika aku tidak menjawab.
![](https://img.wattpad.com/cover/170450403-288-k490325.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dearest Mai (Versi Novel)
Teen FictionMai, gadis itu punya mimpi sederhana saja. Lulus kuliah dengan nilai bagus, menikah, dan tenang bersama keluarga. Namun, mimpi akan terasa sulit saat kau sudah bertemu cinta dan patah hati, bukan? Al, laki-laki yang selalu memberinya perhatian, diam...