Pertengahan 2008
"Apakahaku harus mengucapkan selamat? Karena aku tahu kamu pasti mendapat A. See, sudah kubilang tidak perlukhawatir."
Aku tersenyum membaca SMS yang masuk dari Da Andy. Alhamdulillah, presentasi laporan kerja praktikku sudah selesai, dengan nilai memuaskan pula.
"Alhamdulillah. Nailed it. Terima kasih, ya, Da."
Semenjak peristiwa memalukan itu, ketika aku menangis di depannya saat skype, komunikasi kami mulai membaik. Aku tidak bertanya lebih jauh kenapa dia bersikap abai sebelumnya, dia juga tidak menjelaskan detail, hanya memberi alasan sedang banyak pekerjaan. Dia kembali menghubungiku saja sudah cukup untukku.
"Setelah ini skripsi. Dan saat itu terjadi, aku akan berada di sana menemani kamu."
Mendengar kalimat itu, rasanya hatiku berbunga. Seperti ada kupu-kupu beterbangan di perut. Bahagia.
Setelah satu jam berbalas SMS, aku meletakkan ponsel di meja dengan senyum lebar. Baru saja hendak merebahkan tubuh, ponsel kembali berdenting. Aku bergegas bangkit.
"Assalamu'alaikum, Mai. Besok pagi jangan lupa mentoring adik-adik, ya."
SMS dari Ni Maya. Aku duduk di tepi tempat tidur sambil menarik napas panjang. Teringat siang tadi ketika bertemu. Dia meminta kesediaanku untuk menjadi mentor agama Islam adik kelas. Aku hendak menolak. Bukan karena tidak mau, lebih karena aku sadar belum mampu.
Melihat kembali kondisi imanku yang belakangan terasa sedang turun. Bahkan, rasanya aku tidak mampu menjaga hati, membiarkan diriku larut dalam rasa yang belum waktunya. Mengizinkannya tumbuh subur. Menikmati setiap detiknya.
Ni Maya berusaha menggugah hatiku.
"Dakwah itu kewajiban setiap muslim dan muslimah, Mai. Tidak harus menunggu menjadi baik terlebih dulu, karena setiap manusia pasti punya kekurangan," bujuknya. "Menyampaikan sesuai kemampuan. Amanah ini bukan beban, tapi akan menjadi wasilah, jalan untuk memperbaiki diri sendiri dan orang lain. Ilmu itu seperti air, fitrahnya mengalir. Pengetahuan yang sudah anti dapatkan, seharusnya ditransfer ke orang lain. Agar menjadi manfaat."
Ya Rabb. Hatiku gundah. Bagaimana mungkin aku yang masih banyak maksiat diamanahi tanggung jawab sebesar ini? Malu rasanya. Namun, aku juga tidak kuasa menolak, apalagi Ni Maya mengatakan kalau ini keputusan syuro'.
Aku beranjak ke meja, perlahan membuka laci, lalu mengeluarkan buku mutabaah harian. Kebanyakan kosong. Bahkan pernah selama tiga hari tidak tilawah Alquran. Lalu teringat tausiah yang pernah diberikan Ni Maya.
"Alquran itu pencemburu. Alquran akan meninggalkan orang yang meninggalkannya. Ketika kita mengabaikannya selama satu hari, maka ia akan mengabaikan kita selama satu minggu. Ketika kita melupakannya selama satu minggu maka ia akan melupakan kita selama satu bulan."
Tanpa sadar bulir bening jatuh ke pipiku. Bukan aku yang meninggalkan Alquran, tapi dia yang meninggalkanku ketika aku mulai sibuk dengan selainnya. Pantas hatiku terasa tawar. Begitu mudah melalaikan perintah-Nya.
Ya, Allah. Betapa keyakinanku masih lemah. Kadang ingat dengan-Mu, tetapi lebih banyak alpa.
Lalu, aku teringat dengan Da Andy. Sebenarnya, aku dan dia sedang menjalani hubungan apa?

KAMU SEDANG MEMBACA
Dearest Mai (Versi Novel)
Teen FictionMai, gadis itu punya mimpi sederhana saja. Lulus kuliah dengan nilai bagus, menikah, dan tenang bersama keluarga. Namun, mimpi akan terasa sulit saat kau sudah bertemu cinta dan patah hati, bukan? Al, laki-laki yang selalu memberinya perhatian, diam...