2 - Ada yang Hilang

7.9K 593 29
                                    


Pertengahan 2006

Waktu tempuh dari Palembang, kampung halamanku, ke Padang sekitar 16 – 18 jam melalui perjalanan darat. Bisa lebih cepat, atau lebih lambat, tergantung kecepatan kendaraan dan seberapa sering berhenti di setiap perhentian untuk makan, buang air kecil, dan lainnya.

"Sepertinya Raja punya teman perempuan," cerita Bunda ketika meneleponku malam ini. Bunda memang tampak kewalahan menghadapi sikap adik laki-lakiku yang mulai beranjak remaja ini. Sebenarnya adikku itu tidak melakukan hal-hal di luar norma agama. Biasalah, anak cowok sukanya kumpul bareng teman-teman. Main game atau olahraga bareng.

Bunda hanya salah kaprah, tidak terbiasa dengan anak-anak zaman sekarang. Mungkin, Bunda membandingkan denganku yang tidak suka keluyuran atau main sampai malam.

"Biasa, kan, Bun. Namanya juga teman," sahutku.

"Bukan teman biasa, Mai. Malam minggu pamit mau pergi. Pas Bunda tanya mau ke mana, dia bilang ke rumah Mimi. Nah, artinya mau malam mingguan."

Aku menarik napas. Usia Raja memang rawan menjalin hubungan spesial dengan lawan jenis. "Nanti Mai bicara dengan Raja, ya, Bun." Aku mencoba menenangkan ibuku itu. "Nada gimana kabarnya?"

"Adikmu yang itu lagi gandrung menggambar. Kemarin ikut lomba mewakili sanggar, alhamdulillah dapat juara. Tingkat kotamadya, lho. Kemungkinan mau dikirim ke tingkat nasional," suara Bunda terdengar bangga.

"Alhamdulillah. Tetap diingatkan saja, Bun, salatnya jangan tinggal," tambahku. "Nanti Mai belikan kerudung baru sebagai hadiah karena sudah juara."

Setelah ngobrol dengan Bunda tentang aktivitas di kampus, aku menyudahi pembicaraan. Aku tahu, tugasku sebagai kakak masih panjang, adik-adik adalah tanggung jawabku juga. Selain menjadi contoh bagi mereka, aku juga berperan sebagai penjaga.

Aku melirik ke arah jam dinding berbentuk kotak dengan lis ungu di pinggiran , sudah pukul delapan. Aku belum salat Isya. Baru saja hendak beranjak berdiri dari kasur, ponselku berbunyi. Ada notifikasi SMS masuk.

Dari Al.

"Assalamu'alaikum. Mai, besok habis ashar di sekre, ya. Thanks. Wassalam."

Aku membaca pesan darinya seraya tercenung. Sejak percakapan kami di kantin beberapa bulan lalu, sikapnya padaku perlahan mulai berubah.

Kami memang masih sering bertemu. Kadang berpapasan di jalan. Kadang ber ketika rapat atau di kantin. Namun, sikapnya terasa berbeda. Dia tak pernah lagi menegurku secara personal jika tak ada keperluan. Terutama ketika sedang ramai atau bersama teman yang lain. Rasanya aneh karena aku terbiasa dengan dia yang memberikan atensi lebih.

? Dugaan itu membuat sebersit perasaan tak enak menelusup ke hatiku. Bahkan, Sinta juga merasakan perubahan sikapnya.

"Kamu sama Al lagi marahan apa gimana, sih? Kok kayak diem-dieman gitu?"

Aku mengangkat bahu, seolah tak peduli. Seharusnya, aku bersyukur karena ini yang aku mau. Teman-teman juga tidak lagi mengolok-olok. Rasanya, lebih tenang. Namun, mengapa juga terasa ada yang... hilang. Apakah aku mulai terbiasa dengan segala perhatiannya? Ketika yang lain berusaha menarik atensinya, aku tidak perlu susah payah mendapatkan. Kadang aku merasa spesial dengan segala kepeduliannya itu.

Dua hari yang lalu, ketika aku minta tolong sesuatu, dia mendelegasikannya ke orang lain, padahal biasanya paling cepat mengambil kesempatan untuk membantu. Entah kenapa ada rasa tidak rela ketika dia sekarang menjauh.

Dearest Mai (Versi Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang