Pertama kalinya dalam sejarah aku bolos kuliah. Sinta sudah mengirim SMS sedari tadi, menanyakan keberadaanku. Aku hanya menjawab sedang tidak enak badan. Mana mungkin masuk kelas dengan mata sembap begini?
Turun dari angkot, langkah kaki membawaku ke Pantai Padang. Matahari sudah mulai merangkak ke barat. Kaki langit berwarna oranye. Aku duduk di bebatuan besar sambil menikmati ombak yang bergulung. Menghempas tebing.
Aku menatap laut lepas dengan pandangan kosong. Hati kembali sedih untuk alasan yang aku sendiri tidak tahu apa.
Apakah aku... cemburu?
Tidak. Tidak mungkin.
Aku tidak punya perasaan apa pun padanya. Tidak.
Tapi..., kenapa sesak rasanya?
Allah.
Kenapa jadi begini?
Aku memeluk lutut, meletakkan dagu di sana.
Bulir bening mengalir. Aku membiarkannya. Biarlah. Sekali ini saja.
Matahari sudah turun. Bacaan Alquran sayup terdengar dari menara-menara masjid.
Aku menyeka wajah. Sebaiknya mencari masjid terdekat untuk salat.
Ketika hendak beranjak, ponselku berbunyi. Ada SMS masuk. Berharap itu dari Al, aku segera membukanya. Decak kesal keluar ketika melihat siapa pengirimnya. Da Andy. Aku memasukkan ponsel kembali ke ransel.
Ponsel kembali berbunyi, kali ini telepon masuk. Aku membiarkannya. Ponsel kembali berdering. Akhirnya aku mengalah dan mengambil gawai. Aku menunggu sampai deringnya berhenti lalu membuka SMS-nya.
Apa dia kurang kerjaan, mengirim SMS tidak penting?
"
Sejurus kemudian aku menyesal, kenapa memberitahu padanya keberadaanku? Tidak lama aku mendapat balasan.
"Pantai? Tumben. Sama siapa?"
"Sendirian."
Hampir saja ponsel terjatuh dari tangan ketika benda kecil persegi itu berdering. Da Andy kembali menelepon.
"Halo," ujarku setelah mengucapkan salam.
"Beneran kamu lagi di pantai? Di mananya? Kok nggak kelihatan," berondongnya dengan pertanyaan.
"Ya, di pantai," jawabku dengan perasaan tak enak.
"Iya, di mananya? Saya juga lagi di pantai."
Tuh, kan. Gawat.
"Mai! Ada apa di dekat sana?"
Aku memandang sekeliling. "Ada yang jual jagung bakar."
"Di sini banyak yang jualan jagung bakar, Mai."
"Nggak tahu, ah." Aku mulai kesal.
"Ya udah, jangan ke mana-mana. Tunggu di sana, ya," perintahnya. Sambungan dimatikan.
Aku memasukkan ponsel kesal. Siapa juga yang mau nungguin dia? Aku beranjak berdiri, lalu melangkah ke masjid terdekat.
Ketika hendak menyeberang, sebuah CRV hitam menepi di dekatku. Kaca mobil terbuka, memperlihatkan sebuah wajah yang membuatku kesal karena mematikan telepon seenaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dearest Mai (Versi Novel)
Teen FictionMai, gadis itu punya mimpi sederhana saja. Lulus kuliah dengan nilai bagus, menikah, dan tenang bersama keluarga. Namun, mimpi akan terasa sulit saat kau sudah bertemu cinta dan patah hati, bukan? Al, laki-laki yang selalu memberinya perhatian, diam...