5 - Dia... Menyebalkan

5.6K 523 26
                                    


"Gimana kuliah umum? Jadi Pak Taufik pembicaranya?" tanya Al. Kami sedang berada di ruang sekre. Sebentar lagi rapat koordinasi dimulai, masih menunggu beberapa pengurus hadir di sekre, termasuk Da Raka dan Da Ihsan, ketua bidangku. Ayu dan dua orang lagi sedang mengobrol di sudut yang lain.

"Bukan, tapi alhamdulillah. Sudah dapat pembicara penggantinya, Pak Andy, teman sekantornya," jawabku semringah.

"Ooo... bagus deh."

Aku dan Al masuk di kepengurusan BEM tahun ini, hanya beda bidang. Aku Pendidikan, dia Kemahasiswaan. Da Raka terpilih sebagai ketua BEM menggantikan Kak Sidiq yang pensiun tahun ini. Kakak sepupuku itu fokus menyelesaikan tugas akhir. Memang seharusnya begitu. "Kapan Uni Nana berangkat?"

Malaysia. "Bulan depan."

"Keren, ya, bisa kuliah di luar negeri," komentarnya. "Kalau kamu, Mai, mau langsung lanjut S2?"

"Aku?"

"Iya, kamu."

Aku belum ada rencana ke sana dalam waktu dekat. "Kalau kamu?"

"Lho, ditanya malah tanya balik."

Aku tersenyum simpul. Menantikan jawabannya.

"Penginnya, sih, kuliah lagi."

"Seriusan? Langsung kuliah lagi?"

"Iya, takutnya kalau udah kerja jadi males kuliah, keasyikan cari duit."

Aku mengangguk. "Berarti kuliah dulu, kerja, baru nikah?"

. Membuat jengah. "Mungkin," jawabnya.

"Masih lama, dong."

"Masih lama, apa?"

"Nikahnya. Kan kuliah dulu, kerja dulu, baru nikah."

"Kalau kamu maunya gimana?"

"Kepenginnya kerja dulu, terus nikah. Kalau ada kesempatan, baru kuliah lagi."

"Ya udah, kalau gitu kita nikah dulu, baru kuliah."

Dasar! Aku memukul Al di bahunya dengan buku catatan yang kupersiapkan untuk rapat kali ini.

Dia mengaduh. "Sakit, Mai!" serunya.

Aku menahan senyum seraya mengalihkan pandangan ke arah lain. Hubunganku dengan Al semakin membaik. Awal mungkin aku kecewa dengan sikapnya yang memilih untuk pacaran. Aku tidak pernah membayangkan Al tipe yang seperti itu. Maksudku, dia termasuk yang rajin salat ke masjid ketika masuk waktu salat. Dia juga kerap mengajak temna-teman lain untuk salat berjamaah.

Aku memang tidak boleh menilai seseorang dari tampilan luarnya saja. Aku juga tidak mau berprasangka dengannya, biarlah itu menjadi urusan Al. Dengan Al punya pacar, malah sekarang tidak ada lagi yang mengolok-olok atau menjodohkan aku dengannya lagi. Aku merasa lebih nyaman seperti ini.

Harus kuakui, aku menyukai kedekatan kami sekarang. Perhatiannya padaku juga masih sama.

Aku menarik napas pelan, apakah hal seperti ini dibenarkan? Apakah ada persahabatan antara perempuan dan laki-laki dalam Islam, yang murni platonik? Apakah ini tanda kalau aku mulai longgar dalam menjaga adab dengan lawan jenis?

Apakah ini yang dikhawatirkan oleh Ni Maya tentang campur baru antara laki-laki dan perempuan? Kalau tidak kuat, bisa terbawa arus dan terwarnai.

"Memangnya mau kuliah di mana?" Aku mengalihkan pembicaraan.

"Kamu maunya di mana?" tanyanya seraya mengusap bahu. Mungkin masih terasa nyerinya.

"Seriusan, Al."

Dearest Mai (Versi Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang