Akhir 2006
"Lisan kita mengatakan mencintai Rasulullah, tapi kenapa terasa berat untuk mengucapkan salawat kepada beliau? Kita mengungkapkan cinta kepada Rasulullah, tapi malas mengikuti sunahnya?
Ketika orang lain berlomba-lomba mengamalkan sunahnya, kita malah berdalih, ah, kan hanya sunah, bukan wajib, tidak apa-apa bila tidak dikerjakan." Uni Maya memberi tausiah selepas Isya pada acara Malam Bina Iman dan Takwa atau MABIT di wisma akhwat. Kegiatan ini merupakan agenda keputrian FSI yang biasa diadakan tiap semesternya.
"Mau taruh di mana muka kita ketika bertemu beliau nanti? Kita mengaku mencintai beliau, tapi dengan sengaja melukai hatinya, dengan meninggalkan sunahnya."
Jatungku bergemuruh hebat. Astaghfirullah. Ya Rasulullah, betapa aku berkali-kali telah menyakiti hatimu. Sesuatu mendesak dari dalam. Sesak.
"Apabila saat ini kita bertemu dengan Rasulullah, apa yang hendak kita katakan kepadanya? Apa yang bisa kita banggakan di hadapannya? Beliau yang sampai akhir hayatnya menyebut nama kita, ummati ummati ummati...." Suara Ni Maya terdengar serak.
Aku seperti bisa mendengar Rasulullah memanggil kami, umatnya, dalam sakaratul maut. Sekujur tubuhku merinding. Mata memanas.
"Beliau yang menyebut nama kita di hadapan para sahabatnya sehingga para sahabat merasa cemburu. Kita disebut sebagai saudara. Kita..., manusia akhir zaman yang tidak pernah melihatnya, tapi mencintainya, dan mengikuti sunahnya."
Bulir bening mengalir di pipiku. Tidak tertahankan. Sayup terdengar isak dari peserta MABIT. Allahumma shalli 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad. Betapa aku masih jauh dari mencintaimu. Betapa aku masih jauh dari mengamalkan sunahmu.
"Kita semua ingin..., ingin sekali bersama Rasulullah ketika di yaum akhir nanti. Bertemu dengannya, memeluknya, mengatakan bahwa kita adalah umatnya, yang mengamalkan sunahnya ketika yang lain meninggalkannya."
Seketika isak bergemuruh. Bagai suara lebah yang bergerombol. Termasuk aku. Bahuku terguncang dengan tangan menutup mulut yang mengeluarkan sedan. Air mata menganak sungai.
Astaghfirullah.
Ampuni kami ya Allah.
Maafkan kami ya Rasululllah.
Aku ingin ya habiballah, ingin sekali. Namun, diri ini sadar penuh kalau masih terlalu jauh dari sunahmu.
"Kita ingin, Rasulullah memberikan syafaat ketika hari akhir nanti. Kita ingin Rasulullah memandang dengan wajah penuh senyum," tambah Ni Maya. "Jangan sampai... Rasulullah memalingkan wajahnya, dari kita. Jangan sampai...."
Ni Maya tidak menyelesaikan kalimatnya. Isak terdengar dari lisannya. Membuat tangisanku dan akhwat lainnya bertambah kencang.
Allah.
Allah.
Allah.
Kami terus menangis sembari berpelukan satu sama lain. Larut dalam kesedihan.
***
Aku merentangkan kedua tangan ke atas, meregangkan otot-otot tubuh. Kami bangun pukul tiga pagi untuk tahajud berjamaah. Dilanjutkan dengan qiraah Alquran sampai masuk waktu subuh. Sebelum salat Subuh, Ni Maya mengajak kami untuk mengerjakan dua rakaaat salat sunah fajar. Ketika mentoring mata kuliah agama Islam, Ni Maya pernah menjelaskan kalau salat sunah fajar itu lebih baik dari dunia dan segala isinya. Sejak itu aku tidak pernah meninggalkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dearest Mai (Versi Novel)
Teen FictionMai, gadis itu punya mimpi sederhana saja. Lulus kuliah dengan nilai bagus, menikah, dan tenang bersama keluarga. Namun, mimpi akan terasa sulit saat kau sudah bertemu cinta dan patah hati, bukan? Al, laki-laki yang selalu memberinya perhatian, diam...