Padang, Awal 2007
Kalau tidak ingat janjiku dengan Al, rasanya malas untuk menghubungi Da Andy. Setelah salat Isya dan merapikan telekung, aku mengambil ponsel di meja, lalu bersila di atas kasur.
"Assalamu'alaikum. Maaf mengganggu, Da. Ada yang mau saya tanyakam. Da Andy bisa menjadi pembicara di seminar anak Sipil di kampus saya?"
Akhirnya aku mengirim SMS padanya. Sembari menunggu, aku membuka majalah UMMI terbaru. Banyak artikel manfaat untuk bekal menikah nanti. Tidak ada salahnya mempersiapkan diri dari sekarang, kan?
Ponselku berdenting. Apa balasan SMS dari Da Andy, ya?
"Wa'alaikumussalam. Hai, Mai. Mimpi apa saya semalam dapat SMS dari kamu. Kirain sudah lupa sama saya. Seperti habis manis sepah dibuang. Seminar Sipil? Bukannya kamu Industri?"
Aku tersenyum tipis dan membalasnya.
"Iya. Ada teman saya anak Sipil mau ngadain seminar. Dia minta tolong untuk menanyakan apakah Da Andy bisa mengisi. Kegiatannya masih lama kok, pas tahun ajaran baru."
"Ooo... bisa aja, sih. Coba kasih ke saya proposalnya."
"Baik, Da. Nanti saya email. Terima kasih. Wassalam."
"Eh, jangan udahan dulu. Kamu apa kabar, Mai?"
"Alhamdulillah, baik."
"Kamu nggak nanyain kabar saya?"
"Uda apa kabar?"
"Baik. Apalagi setelah mendapat SMS dari kamu."
Nah, mulai lagi. Aku malas membalasnya.
"Kok diem, Mai? Udah ngantuk, ya?"
"Iya, sudah malam."
"Ini masih sore, Mai. Saya aja masih di kantor."
Eh, benarkah? Jam segini masih di kantor?
"Lembur?"
"Iya. Ya udah, kalau ngantuk tidur aja."
Aku meletakkan ponsel di meja. Mudah-mudahan ini keputusan yang tepat. Menghubungi dia kembali.
***
"Ki, Al mana?" Aku masuk ke sekre dan mendapati Riki sedang di sana bersama beberapa teman seangkatan. Aku ingin menyampaikan kalau sudah menghubungi Da Andy dan dia minta proposal.
Riki mengangkat bahu. "Kantin, kali."
"Oke, thanks."
Dengan langkah ringan aku melangkah. Senyum lebar tercetak di wajah. Aku melihatnya di kantin, tapi tidak sendirian. Ada seorang perempuan bersamanya. Siapa, ya? Aku tidak bisa melihat wajahnya dari sini.
"Al!" seruku seraya melambai.
Al menoleh, tampak sedikit terkejut, tapi balas melambai. Kenapa dia kaget melihatku, ya?
Aku terus berjalan menghampiri mejanya. "Dicariin dari tadi," keluhku. Ketika sampai aku menoleh ke perempuan berkerudung hijau yang duduk di samping Al dan tersenyum sopan padanya. Dia balas tersenyum. Cantik. Wajahnya putih bersih dengan mata agak sipit. Seperti orang Jepang. Siapa, ya? Sepertinya aku tidak pernah melihatnya di kampus
"Kenapa, Mai?"
Aku mengalihkan pandangan ke Al. "Aku sudah menghubungi Pak Andy, dia minta proposalnya."
"Ooo... thanks, Mai."
Aku berdiri dengan canggung, beberapa detik berlalu dan tidak ada tanggapan lain dari Al. Hanya itu saja? Dan... kenapa Al tidak memperkenalkan temannya?
"Proposalnya sudah ada?" Aku memecah keheningan. "Soft copy-nya aja dulu, nanti aku email ke Pak Andy."
"Oke, nanti aku email. Kalau perlu hard copy-nya juga ada di sekre."
"Oh, oke." Aku berada di situasi yang tidak nyaman. Sepertinya keberadaanku di sana mengganggu mereka. "Duluan, ya."
Sebelum beranjak aku kembali tersenyum kecil ke perempuan tadi. Dia balas tersenyum. Aku baru memperhatikan kalau dia memiliki lesung pipi di satu sisi pipinya.
Sebelum masuk kuliah aku mampir ke sekre lagi, masih penasaran, siapa perempuan tadi, siapa tahu Riki mengenalnya.
"Ki!" Aku berdiri di depan pintu dan memanggil Riki.
Riki menoleh. "Kenapa?"
"Sini bentar." Aku membuat gerakan memanggil dengan tangan.
Riki beranjak berdiri dan menghampiriku. "Udah ketemu sama Al?"
Aku mengangguk. "Itu siapa, sih, yang sama Al?"
Riki tidak langsung menjawab, terlihat ragu. Aku menunggunya.
"Nggg... itu.... "
Tiba-tiba sesuatu memukulku keras. Allah. Apakah seperti yang aku pikirkan? Kenapa tidak terlintas olehku tadi? Tentu saja. Itu pasti... pacarnya Al.
"Mira," jawab Riki datar.
Aku tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Sikap Riki menjawab semuanya. Tidak mungkin dia bersikap gugup seperti ini kalau tidak ada apa-apa.
"Ooo...," tanggapku berusaha terdengar biasa saja. "Ki, aku masuk dulu, ya."
Aku melambai pada Riki hendak menuju ruang kuliah. Tapi langkah kaki membawaku ke kamar mandi. Entah kenapa mataku menghangat. Rasanya sedih sekali. Aku menutup pintu dan menyeka pipi. Tidak tahu untuk alasan apa aku menangis.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/170450403-288-k490325.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dearest Mai (Versi Novel)
Teen FictionMai, gadis itu punya mimpi sederhana saja. Lulus kuliah dengan nilai bagus, menikah, dan tenang bersama keluarga. Namun, mimpi akan terasa sulit saat kau sudah bertemu cinta dan patah hati, bukan? Al, laki-laki yang selalu memberinya perhatian, diam...