BAB 17
Tak Sesuai EkspektasiBadan Yuki terasa begitu lemah, sedari kemarin makanan apapun yang ia makan rasanya tidak enak. Yuki pun akhirnya memutuskan untuk mengabari Bunda Maia untuk datang ke apartemen yang ia tinggali.
"Pucatnya wajah anak Bunda, kamu harus minum vitamin dan ikuti saran dokter. Supaya kamu sehat dan anak kamu juga sehat."
"Iya bun,"
"Kasian sekali cucu Bunda, pasti kepingin ketemu ayahnya iya?" Bunda Maia bermonolog pada calon cucunya.
Maia sangat kasian dengan Yuki dan juga calon cucunya, di saat seperti ini biasanya sang ibu sangat menginginkan kedekatan bersama suaminya, entah untuk bermanja ataupun sekedar meminta calon ayahnya untuk membelikan keinginan si jabang bayi, alias ngidam. Tapi berbeda dengan anak mantunya, dia harus rela berjauhan dengan sang suami guna menyadarkan suaminya akan kesalahan yang sudah suaminya lakukan.
"Nggak apa-apa Nenek," jawab Yuki yakin.
"Bunda pulang dulu ke rumah kalian ya, nanti Bunda kirim asisten rumah tangga ke sini ya untuk menemani kamu dan juga membantu kamu supaya kamu nggak kelelahan."
"Baiklah Bunda, Yuki akan nurut apa kata Bunda."
"Sebelum Bunda pulang, kamu sudah telpon ke keluargamu? Atau Bunda saja yang bilang?"
"Tidak usah Bun, Yuki saja. Nanti Yuki yang telpon ke rumah."
"Baiklah, kalau begitu Bunda pulang dulu. Hati-hati ya sayang."
Setelah sang bunda pulang, Yuki kembali ke kamar merebahkan diri. Badannya sudah lumayan sehat, hanya masih sedikit lemas saja. Tangan Yuki mengusap perutnya yang masih rata. Pagi tadi kabar bahagia itu datang. Awalnya Yuki merasa bahwa memang kondisinya masih lemah gara-gara kemarin itu. Tapi setelah bunda mengajaknya ke rumah sakit lagi cek up dengan benar ternyata di dalam perutnya sudah tumbuh calon bayi mungil yang selama ini dia nantikan.
Yuki tak bisa membendung rasa harunya, ia sangat bersyukur atas rezekinya. Tak ada yang dipikirkan Yuki selalin bagaimana cara menjaga calon baby supaya tetap sehat selama didalam perutnya dan bisa lahir dengan selamat. Entah lah, meskipun ia rindu pada Al tapi Yuki menikmati kesendiriannya ini.
"Mau sampai kapan kamu seperti ini?" Tanya Maia pada putranya. "Malu Al sama umur,"
"Di mana Yuki, Bun?"
"Kamu yang harusnya mencari, kenapa tanya Bunda. Bunda nggak tau."
Al bersimpuh di kaki bundanya. Memohon dengan sangat agar sang bunda mau memberitahu di mana Yuki berada. Al yakin, sangat-sangat yakin jika bundanya pasti tau di mana Yuki berada. Terlihat dari bunda yang begitu santai, kalo bunda tidak tahu di mana Yuki berada pasti setiap hari akan mengoceh dan tidak berani menghubungi keluarga Yuki.
Beberapa kali Al memergoki sang bunda sedang berbincang melalui pesawat telepon dengan mertuanya.
"Kamu mau ngapain kalo bunda tahu di mana Yuki, mau apa? Mau ajak istrimu pulag terus setelah sampai di rumah kamu abaikan dia begitu saja?"
Kali ini Al memberanikan diri untuk menatap mata sang bunda, tatapan memohon Al membuat hati sang bunda tercubit. Cukup sudah tiga hari ia menyiksa sang putra tapi, Maia takut jika Al tidak bisa merubah secara total prilakunya dan akan menimbulkan kekacauan yang lebih dari ini.
"Al janji Bun, Al tidak akan melakukan kesalahan yang sama."
"Bunda mau tanya sama kamu, jika nanti kamu menemukan Yuki dalam keadaan yang berbeda apa kamu mau menerimanya?"