BAB 08 - Dia

1.7K 165 20
                                    

20 VOTE BAB INI, AKU BARU AKAN LANJUT BAB 09 :v

***

Aku hanya tidak mengerti, apa yang sebenarnya semesta rencanakan di depan sana -Gisya

***

Setengah jam sudah aku menunggu Gian di bawah pohon sekitar Trafalgar Square. Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti tepat di depanku. Aku menoleh sebentar, mobil itu bukan mobil Gian tapi untuk apa dia berhenti di sini sedangkan hanya aku yang berdiri di sini. -Ah mungkin orang yang menanyakan alamat atau sekadar berhenti untuk beristirahat. Aku kembali menoleh ke kanan, mencari keberadaan mobil Gian. Tidak ada, akhirnya aku memutuskan untuk mengirim pesan pada Gian siapa tahu dia ada di sini namun tidak mengetahui keberadaanku.

Giandra
Gian, aku di dekat kedai coklat. Kamu di man|

"Gisya."

Jariku berhenti mengetik, aliran darahku berdesir hebat, dunia seperti berhenti seketika. Aku masih menatap benda pipih yang kini hanya menampilkan warna hitam dan bayangan wajahku. Suara itu. Aku sangat mengenalnya. Suara langkah kaki mendekat hingga aku bisa melihat sepatu kantor tepat di depan flat shoesku. Aku mendongak perlahan, dan benar. Wajah yang 4 tahun lebih tak pernah kulihat lagi kini tersenyum kepadaku. Aku ingin ikut tersenyum namun rasanya sangat sulit, hanya dadaku yang terasa sakit dan sesak. Hingga yang terjadi adalah air mata.

"Gisya, kamu ingat aku?" Suara beratnya memasuki gendang telingaku. Seperti jutaan jarum yang lagi-lagi membuat dadaku sesak. Aku mundur selangkah.

"Aku ingin aku gak ingat kamu."

"Sya--" lelaki itu mencoba meraih lenganku namun aku segera menghindar.

"Untuk apa, Bill?"

"Maafin aku, aku tahu ini terlambat."

"Aku baru aja nyerah. Kenapa kamu datang?"

"Aku akan penuhi janji aku."

"Janji itu pantas di tepati satu tahun yang lalu, Bill. Kamu lupa?"

"Sya, aku--"

"Dari mana kamu tahu aku di sini?"

"Dokter Gian."

"Gian suruh kamu ke sini?"

Billo mengangguk. Apa maksud Gian melakukan semua ini, jadi apa hanya aku yang mulai merasakan perasaan ini. Sedangkan Gian tidak. Apa Gian hanya sandiwara selama ini, melakukan semua hal seolah dia mencintaiku?

"Makasih karena kamu udah berniat menepati janji kamu. Sekarang, kamu bisa pergi."

"Sya, aku mohon." ucapnya seraya menggenggam lenganku.

"Apa?! Udah empat tahun Bill, empat tahun kamu pergi dan aku gak pernah dapat sedikitpun kabar kalo kamu cari aku. Kamu sekarang di sini pun, karena Gian kan? Kalo seandainya dia gak pernah ketemu kamu dan gak pernah kasih tahu kamu tentang keberadaan aku, kamu juga gak akan pernah kan cari aku?"

"Sya, aku minta maaf tapi aku ke sini--"

"Nggak. Kamu gak pernah salah, di sini aku yang bodoh. Seharusnya aku gak pernah nunggu kamu, seharusnya perasaan ini gak pernah aku jaga, seharusnya semua udah mati sejak tiga tahun yang lalu dan seharusnya kamu gak ada di hadapan aku sekarang."

"Sya--"

"Kalo kamu gak mau pergi, itu artinya kamu suruh aku yang pergi."

Setelah mengatakan hal itu, aku berjalan dan berlari menuju taksi yang tak jauh dari sana. Kemudian taksi melaju dengan cepat atas permintaanku. Setelah memberikan tempat tujuanku, aku menyandarkan tubuhku. Bulir demi bulir air mata terus saja membasahi wajahku. Sesekali aku menyeka air mataku namun butiran lainnya kembali terjatuh hingga akhirnya aku membiarkan air mata itu meluncur sesukanya. Berharap esok tak akan pernah ada lagi air mata yang luruh karena dia.

After INTUISI [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang