BAB 22 - Kembalikan

1.7K 152 8
                                    

SEBENERNYA MAU KEMAREN TAPI KETIDURAN :V

°°°

Aku memarkirkan mobil tepat di parkiran Dunia Fantasi. Aku menghela napasku perlahan, semoga ini bukan perjalanan yang akan menyakitiku semakin dalam. Semesta, bantu aku kali ini. Aku hanya ingin benar-benar mengakhiri semuanya. Tanganku membuka pintu mobil dan kakiku melangkah untuk memulai segala yang selama ini kusimpan dan terjaga rapi. Berbekal sebuah kotak berisi beberapa foto di tempat yang berbeda, aku mulai melangkah. Tanganku mengambil sebuah foto di dalam kotak itu. Di tempat yang sama, aku sedang memakan sebuah permen lolipop.

Mataku mengedar mencari toko atau seseorang yang menjual permen lolipop. Ketika berhasil menemukannya aku membeli satu buah lolipop. Sambil memandang lolipop itu aku berjalan menyusuri setiap jalanan yang sekian tahun lalu pernah aku lewati dengan gembira dan bahagia membuncah.

Mataku menatap sebuah kursi. Bahkan, hanya menatap kursi saja aku seolah bisa membayangkan kala itu bersamanya. Seperti sebuah rekaman yang kemudian rekaman itu berhasil membuatku kembali terluka. Tapi aku tidak berhenti di sana,  aku terus melangkah bahkan duduk di kursi ini. Lagi.

"Kakak aku pengen itu." sayup-sayup terdengar suara dari belakangku. Aku menoleh mendapati gadis kecil yang sedang merengek dengan tangan menunjuk sebuah pedagang yang menjual permen lolipop.

"Ayo ambil uangnya dulu ke mama, kakak gak bawa uang."

"Pengen itu." Gadis kecil itu terus merengek. Aku menatap sebuah permen yang masih dibungkus rapi dan akupun tak berniat memakannya. Hilang sudah seleraku karena kenangan itu membuat permen ini akan pahit.

Aku berjalan mendekati mereka, aku menunduk untuk mensejajarkan wajahku. "Adek mau ini?"

Gadis kecil itu mengangguk.

"Nih. Tapi janji ya harus dihabisin nanti kalo nggak, lolipopnya bisa marah."

"Iya kak." ucapnya dengan mata berbinar. Aku ikut tersenyum melihatnya.

"Terima kasih, Kak." ucap kakaknya.

Aku mengangguk dan tersenyum kemudian berpamitan dan meninggalkan mereka. Dengan gerak lamban aku menyusuri tempat ini, dulu aku merasa waktu bersamanya adalah cara Tuhan membahagiakanku untuk waktu yang panjang namun aku salah. Dia tak pernah benar-benar menetap.

Beberapa jam kemudian, aku kembali menuju mobil, mengendarainya melewati jalanan padat merayap sore itu. Sepertinya ada tempat bersejarah lainnya yang harus aku kunjungi untuk mengubur kenangan itu di tempat aku menemukannya.

Sama seperti tahun-tahun yang sudah. Kota ini masih sehangat dulu
Meski sang cahaya matahari telah berkelana dan entah saat ini dimana
Namun tak ada yang berubah.
Dia masih bersinar.
Senja kali ini tak lagi kulewati denganmu,
tak apa.
itu tidak terlalu buruk
Semesta,
kurasa kau sedang mendewasakanku melalui kisah ini
Tahun-tahun yang berhasil kulalui
adalah tahun-tahun terbaik untukku.
Terima kasih untuk semua yang berhasil menyeretku kembali
Tidak.
Bukan pada seseorang.
Namun pada kota yang ramai ini
Pemilik nyaman yang tiada dua
Tiada kau di tempatku menengadah
Menatap langit yang kian menjingga
Dan aku rasa,
Aku baru sadar
Jika aku telah benar-benar kehilangan.

Lapangan perumahan. Mataku terus menatap lapangan yang masih dipenuhi anak-anak. Mereka tumbuh besar, bukan lagi anak-anak sekolah dasar. Tiba-tiba sebuah bola menggelinding dan berhenti tepat di depan flat shoesku. Aku mengambil bola itu dan beberapa anak itu menghampiriku.

"Kak Gisya."

"Hai, apa kabar?"

"Baik Kak, Kakak apa kabar?"

"Baik."

"Mana Bang Billonya, Kak?"

Aku diam sejenak kemudian tersenyum. "Dia--"

"Kenapa? Kalian mau ngajak main?" tiba-tiba suara seseorang yang aku kenal terdengar. Aku menoleh dan ternyata benar. Aku tak mengerti situasi ini, aku sungguh tak mengerti apa yag sedang semest rencanakan.

"Bang, ayo main. Sekarang, gua bukan bocah lagi."

"Duluan deh, tar gue susul."

Anak-anak itu berlarian ke dalam lapangan menyisakan aku dan dia di sini.

"Ngapain disini?" tanyaku pada lelaki itu.

"Kebetulan lewat. Kamu sendiri?"

"Gue--"

"Datang untuk mengenang atau melupakan?"

"Mengubur."

"Kalo aja hari itu aku tetep di sini--"

"Cukup. Lo terlalu banyak berimajinasi, terlalu banyak pengandaian, apa yang udah lo capai sampe lo ada di titik ini bukan untuk lo sesali. Karena waktu gak akan pernah berjalan mundur meski lo menyesal hingga nangis darah."

Lelaki itu tersenyum, "Tuhan itu adil ya Sya, dulu aku yang terlihat gak peduli sama cerita-cerita Johan tentang kamu sebelum akhirnya aku ketemu langsung sama kamu. Tapi lihat sekarang, posisi itu berbalik."

"Nggak. Nggak pernah berbalik, Bill. Beda. Lo tau apa bedanya? Bedanya gue mengabaikan lo karena lo nyakitin gue. Tapi lo mengabaikan gue tanpa gue pernah nyakitin dan ngusik lo."

"Sya--"

"Gue benci banget sama lo, sekarang lo tuh keliatan rendah banget Bill. Gue muak, gue capek, gue gak mau ada sedikitpun bayangan lo di hidup gue. Empat tahun udah cukup buat gue Bill. Jangan pernah muncul lagi, jangan pernah hubungi gue lagi, jangan pernah berandai apapun. Permisi."

Setelah itu aku berlari menuju mobil dan menancap gas meninggalkan lapangan itu. Kukira, akhir percakapan sudah selesai pada lembar sebelumnya namun ternyata salah. Kurasa, inilah lembar terakhir yang sebenarnya.

°°°

Alun-alun kota. Tempat terakhir yang aku datangi. Sekaligus bagian awal semua bermulai. Ya, aku ingin mengakhiri di tempat aku pernah mengawali. Matahari telah benar-benar hilang, bersama dengan hilangnya perasaanku dengan perlahan.

Tak ada yang aku lakukan selain berdiri memandangi keramaian dan tawa orang-orang di sekitarku. Pandanganku menerawang.

Jangan terlalu menyukai seseorang yang belum pasti, karena kemungkinan besar adalah kecewa yang kau dapat. Sesekali memang kau perlu memperjuangkan tapi sekiranya yang diperjuangkan tak ingin ikut berjuang maka berhentilah. Bukan sebab kau lemah, namun karena kau lebih menyayangi hatimu, dan dirimu sendiri dibanding orang yang belum tentu bisa merawat hatimu dengan baik.

Mengenai penantian, lupakan hal bodoh itu jika kau belum diberi sesuatu yang menjanjikan. Kau hanya membuang-buang waktu hidupmu yang berharga itu, untuk orang yang mungkin tak memikirkan dirimu sedikitpun dalam setiap langkahnya dan saat-saat yang ia lalui.

Menjadi aku itu tak menyenangkan. Billo tak sebaik dan seistimewa yang kau bayangkan. Di sini, aku belajar untuk tidak mudah terbuai hanya karena perlakuan dan sikapnya. Untuk mengenal itu tidak mudah. Hanya karena kau tau kesehariannya di luar ruangan. Bukan berarti kau tau segalanya dan menilai dia baik atau tidak.

°°°After°°°

TERIMA KASIH SUDAH MENUNGGU.

LOVE,
SISKAKRML

After INTUISI [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang