BAB 04 - Lolipop

2K 183 8
                                    

Menit-menit dilalui dengan banyak obrolan bersama Gian. Suhu coklat panasku juga menurun hingga tak lagi bernama coklat panas karena obrolan terlalu asik dan akhirnya minuman itu terlupakan.

Sampai sini, aku menilai Gian itu lelaki yang mandiri, asik, baik, romantis, namun yang belum aku temukan adalah kurangnya. Bersamanya, aku merasa dibawa ke dunianya.

Dia menceritakan hal-hal dari mulai masa kecilnya, asmaranya, pendidikannya, suka-duka menjadi mahasiswa kedokteran. Caranya menyampaikan membuatku suka dengan papun obrolan yang dia buat.

Saat ini, aku dan Gian berjalan keluar dari kafe. Gian menggenggam lenganku karena saat itu kafe cukup ramai pengunjung. Gian bilang, kafe itu cukup terkenal karena minumannya yang enak dan takaran pas di tambah suasana kafe mendukung bagi orang-orang yang sedang dimabuk cinta. Lalu, apa itu berlaku juga untukku dan Gian? Aku ingin bertanya namun tidak berani.

"Mau kemana lagi?"

"Emang kamu gak sibuk?"

"Nggak kok. Santai aja."

"Yaudah kemanapun aku setuju."

Gian membawaku menuju pinggiran sungai. Gian membelikan sebuah permen lolipop ukuran sedang. Lelaki itu tersenyum melihatku berbinar hanya karena sebuah permen lolipop. Gian menyesap kopi hangatnya seraya memperhatikan lalu lalang orang-orang di sekitar sungai sedangkan aku sibuk memakan lolipop dengan sesekali menatap lelaki di sampingku.

"Sya."

"Hm?"

"Jangan terlalu banyak makan permen, gak baik buat kesehatan."

Aku berhenti menikmati permen itu. Seketika ingatanku kembali pada masalalu di mana Billo mengajakku ke dunia fantasi lalu Billo memberikan sebuah lolipop dan sebelum lolipop itu habis, Billo mengambilnya dan membuang lolipop itu dengan alasan tak baik untuk kesehatan.

"Sya."

"Eh iya, Bill?" setelah berucap, aku segera menutup mulutku. Mengapa jadi Billo yang seolah ada di sampingku?.

Gian terkekeh pelan mendengar aku salah menyebut nama. "Billo pernah ngingetin hal yang sama?" tebaknya.

"mmm---iya."

"Susah ya? Kalo udah sayang banget lalu kepisah dan saling berhenti mengharapkan. Seolah semuanya udah berjalan baik, padahal bayangan masalalu masih sering hadir."

Aku cukup terkejut mendengar penuturan Gian yang seperti pakar cinta bercampur cenayang. Kukira, Gian orang yang flat, anti baper baperan, dan bodoamat perihal cinta namun ternyata aku salah.
"Kamu tuh Dokter spesialis cinta deh kayanya." ucapku seraya berjalan melihat-lihat keramaian.

Gian terkekeh seraya mengikuti arah langkahku. Sesekali aku melihat ke belakang dan selalu kutemukan Gian juga sedang menatapku. Jujur, tatapannya membuatku gugup.

"Gian, sini dong sampingan. Jangan kaya bos sama bodyguard." ucapku seraya menarik lengan Gian, baiklah sebut saja aku modus.

Kini, aku dan Gian jalan berdampingan. Aku menoleh dan ternyata Gian juga menoleh.

"Kenapa?" tanya Gian.

"Nggak sih, cuma mau mastiin kalo masih di samping aku."

"Jadi, takut kehilangan nih."

"Dih pede banget ya masnya."

Aku dan Gian tertawa.

"Gisya, seandainya hari itu kita jadi tunangan, apa kamu bakal terima?"

Aku berpikir sejenak kemudian ia menoleh pada Gian. Ada apa lelaki itu menanyakannya?

"Kenapa emang?"

After INTUISI [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang