1. Forbidden

13.5K 863 55
                                    

Semburat jingga di langit kian menipis. Menandakan malam sebentar lagi menyapa. Satu-satu lampu jalanan mulai menyala dengan sendirinya. Cahaya kuningnya mulai menarik serangga malam penikmat cahaya.

Dinda mendesah. Kakinya kembali terjulur ke bawah undakan teras rumahnya. Badannya kembali meliuk ke kiri dan ke kanan karena pegal. Lalu kepalanya menengadah, menghadap cakrawala yang mulai menampakkan satu bintang kejora di sana. Ayahnya belum pulang dan ia sendiri lupa membawa kunci rumah. Sudah hampir malam tapi ia belum bisa masuk rumah sedari siang.

Tubuh Dinda condong ke kanan, terus hingga kepalanya bersandar pada pilar. Ia menunduk, memperhatikan ponselnya yang sudah mati sejak ia masih di kampus tadi.

Kalau tahu seperti ini seharusnya tadi ia mengiyakan ajakan temannya untuk pergi jalan-jalan. Ya setidaknya ia tidak akan terkapar mengenaskan di teras rumahnya seperti ini.

Sekali lagi Dinda mendesah. Ia lantas memasukkan ponselnya ke dalam tas lalu membaringkan tubuhnya ke lantai. Tak peduli jika nanti jaketnya kotor. Matanya nyalang menatap langit-langit teras yang warna catnya sudah pudar. Lampu neon di atas sana masih padam. Satu-satunya lampu yang masih padam dari semua deretan lampu teras yang ada di perumahan itu. Matanya terus mengerjap menatap lampu neon itu. Lama-lama kelopak matanya memberat. Dinda menguap satu kali sebelum akhirnya menyerah pada rasa kantuknya.

👑👑👑

"Dinda, bangun!"

Panggilan beserta guncangan pelan di pundaknya membuat sedikit demi sedikit kesadaran Dinda pulih. Matanya mengerjap berat beberapa kali sebelum benar-benar berhasil menangkap siluet wajah Prabu, ayahnya.

Dinda terkesiap. Ia bangun seketika. Detik itu juga ia memegangi kepalanya yang serasa berputar. Hari sudah benar-benar gelap sekarang. Hampir tak ada lagi suara bising kendaraan yang tertangkap telinga Dinda.

"Ngapain kamu tidur di teras?"

Dinda mendongak menatap wajah ayahnya yang tak menampilkan ekpresi apapun. Lalu ia menoleh ke arah gerbang rumahnya yang kini sudah terbuka. Motor ayahnya terparkir tepat di belakang tubuh tinggi besar ayahnya.

"Dinda lupa bawa kunci rumah, yah." Suara Dinda serak, khas bangun tidur.

Lelaki pertengahan empat puluh tahun itu mendesah. Bukan sekali ini Dinda lupa membawa kunci rumah. Namun, baru kali ini ia mendapati putri tunggalnya itu sampai tertidur di teras rumah.

"Kenapa nggak telepon atau nyusul ayah?"

Lelaki yang seharinya bekerja sebagai karyawan bengkel itu heran. Terlebih tadi saat ia sampai di depan rumahnya, gerbang rumahnya masih digembok. Ia yakin Dinda pasti melompat pagar untuk bisa sampai di sini.

Dinda meringis. "HP Dinda habis batre. Nggak bawa uang lebih juga. Dompetnya ketinggal di tas satunya."

"Ya udah ayo masuk!"

Dinda sigap berdiri lalu mengikuti gerak-gerik ayahnya. Ia melepas sepatu, meletakkannya di atas rak sepatu di teras. Lalu masuk ke dalam rumah. Setelah lampu teras dan lampu ruang tengah menyala keduanya lantas berpisah masuk ke kamar masing-masing.

Dinda melempar asal tas selempang miliknya ke sudut ruangan setelah menyalakan lampu. Lalu melepas jaketnya dan menggantungnya di gantungan baju di balik pintu. Ia lantas merebahkan tubuhnya ke atas kasur busa yang ada di lantai. Matanya berputar mengamati langit-langit kamarnya. Seolah dengan demikian ruangan 3x3 meter itu bisa meluas dengan sendirinya.

Bunyi mesin pompa air yang menyala membuat Dinda tahu bahwa ayahnya sedang mandi. Ia mendesah. Rasanya sunyi sekali. Dan di tengah kesunyian itu otaknya memproyeksikan kelebatan sosok wanita dengan setelan kerja kantoran yang tengah menggandeng tangan seorang pria berjas hitam. Keduanya tampak tertawa sambil berjalan menuju mobil sedan yang Dinda yakini mampu membiayai kuliahnya dari semester satu sampai lulus. Bahkan mungkin dikali lima...belas.

Selisih [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang