Tanpa OM-OM
KIMCIL bukan apa-apaMata Dinda menyipit dengan kening berkerut membaca tulisan itu ada pada sebuah kaus hitam. Si pemilik kaus masih dengan santainya bercengkrama dengan seseorang yang ditemuinya ketika masuk ke dalam warung soto itu. Kepala Dinda sampai miring ke kiri memahami tulisan di punggung seorang lelaki itu. Terasa aneh. Sudah pasti akan terdengar aneh.
"Dinda!" Sebuah tepukan di lengan kiri Dinda membuatnya berjingkat. "Ndelengi apa ta, cah ayu? Kok sampai serius gitu?"
Dinda mengerjap cepat. Ia menggeleng. "Bukan apa-apa, eyang," katanya lalu mengulas senyum. Dinda lantas melanjutkan kegiatannya mengelap mangkuk dan menatanya di atas meja.
Prapti, eyang Dinda, mengisi mangkuk itu dengan nasi, irisan kubis, kecambah, bihun dan bawang goreng. Meski usianya sudah menjelang senja, tak terihat sedikitpun gurat lelah. Padahal tadi pagi, saat para petani sayur baru saja menurunkan dagangannya dari atas pick up, Prapti sudah ada di sana bersiap membeli segala kebutuhan di warung. Lalu melanjutkan meracik bumbu dan memasak gorengan, ayam dan segala macam dagangan di warung. Dinda baru datang ke warung jam setengah tujuh pagi. Hanya membantu sebisanya.
"Mbah, soto kalih es teh setunggal nggih," ucap seseorang dari balik triplek pembatas setinggi dada Dinda. Itu si pemilik kaus bertulisan aneh tadi. Untuk orang itu, triplek pembatas itu hanya sampai tulang rusuk di bawah dadanya.
Diam-diam Dinda mencuri pandang ke arah si lelaki ketika ia memilih gorengan. Kulitnya coklat sawo matang. Rambutnya hitam legam dengan satu atau dua helai uban.
"Piring siji, mbak," ucap si lelaki yang usianya diperkirakan Dinda sekitar tiga puluh lima tahun. Karena tak kunjung mendapatkan uluran piring, si lelaki menoleh pada Dinda. "Mbak!"
Dinda mengerjap cepat. Untuk sesaat ia terlihat bingung. "Iya, apa, mas eh pak?"
Si lelaki hanya tersenyum menahan tawa. "Piring," katanya lagi.
"Oh." Dinda agak gelagapan. Secara reflek ia menyerahkan mangkuk yang tengah ia lap.
Kini si lelaki tak lagi tersenyum. Ia tertawa kecil. Merasa geli. Yang diminta piring tapi yang diberikan mangkuk. Namun tak urung ia menerima uluran mangkuk itu. Si lelaki akhirnya memasukkan beberapa mendoan dan ati ampela goreng ke dalam mangkuknya.
"Ndak pernah lihat orang seganteng aku ta, mbak?" tanya si lelaki dengan senyum lebarnya.
Kening Dinda mengerut, heran dengan tingginya tinggat kepercayaan diri si lelaki.
"Hus! Nyoh sotone. Es teh e nyusul yo." Prapti menyodorkan semangkuk soto yang kuahnya mengepul pekat.
Si lelaki terkekeh dan menerima uluran mangkuk itu. Ia lantas berjalan menuju meja depan.
"Kamu tolong bikinin es teh ya, nduk."
Dinda mengangguk dan segera berjalan menuju meja di samping kanannya. Ia meracik es teh di sana. Memang sudah tiga hari ini Dinda membantu eyangnya untuk berjualan soto di warung. Andra sudah pulang kemarin, meninggalkan Dinda hanya berdua dengan eyang putrinya.
"Nduk, sekalian tolong es jeruk dua. Yang satu manis, es batunya sedikit. Yang satunya gulanya yang sedikit. Dianter ke depan ya?"
Dinda menengok ke belakang. Namun Prapti ternyata berucap sambil sibuk meracik soto. Jadi ia hanya menyahut sebentar lalu mengambil gelas dari rak. Tiga hari 'bekerja' di sana nyatanya Dinda masih saja sedikit kikuk. Satu-satunya orang yang ia layani selama ini adalah ayahnya. Jadi ketika ia mendapati pesanan dengan beberapa macam kriteria tertentu, ia agak bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selisih [ON HOLD]
General FictionAndai cinta yang tercipta terpentang usia saja sudah tabu di mata orang, lantas apa jadinya Dinda yang ternyata sudah jatuh hati pada pria yang tak hanya jauh lebih tua darinya tapi juga menyandang status sebagai ayahnya?