Andra meremas kedua jemari tangannya di bawah meja. Berkeringat dingin. Sedingin AC di private room di sebuah kafe siang itu yang tak mampu menutup pori-pori kulitnya. Keringatnya saling mendorong keluar, membasahi kening Andra. Bahkan Andra sampai mengumpat ketika satu lagi bulir keringatnya meluncur di sepanjang garis tulang punggungnya. Tak henti-hentinya Andra menarik napas guna menenangkan diri. Setelan jasnya sama sekali tak membantu. Dari luar ia boleh tampak gagah dan cakap. Namun, siapa yang tahu Andra merasa tercekik dan ingin segera menanggalkan dasi sialan itu.
Map coklat itu dilempar begitu saja oleh lawan bicara Andra. Jatuh meluncur di atas meja hingga kembali ke tempat Andra lagi.
"Pak-" Andra mencoba memulai. Namun langsung bungkam ketika pria berkaus polo biru di hadapannya itu mengangkat sebelah tangannya ke udara. Sebuah isyarat untuk diam, dan Andra menyanggupinya.
Pria berperawakan tinggi kekar itu melepas kacamata beningnya lalu menggantungnya di leher baju. Ia menghela napas panjang. "Saya baru pulang dari Inggris, langsung kemari karena sekertaris saya bilang ada hal penting yang ingin dibicarakan oleh putra semata wayang Arya Wangsadinyata." Pria itu diam mengamati Andra, menilai. Penampilannya begitu khas eksekutif muda. Cukup tampan dan mahir bicara. Namun, itu tak cukup. "Apa hanya ini yang bisa kamu tawarkan?"
Andra menelan ludahnya susah payah. Usianya baru dua puluh satu jalan dua puluh dua. Berharap apa pria di hadapannya ini padanya?
"Saya-" Lagi-lagi Andra harus bungkam ketika pria di hadapannya itu mengangkat tangannya.
"What's your name again?" tanya pria itu.
Andra ingin mengumpat dalam hati. Ini ke dua kalinya pria di hadapannya itu melupakan namanya. Padahal belum ada satu jam Andra memperkenalkan diri. Kalau bukan karena pria ini pemegang kartu As bagi kelangsungan perusahaan...dan masa depan Dinda, Andra tak sudi mengenakan setelan jas ini di tubuhnya. Pria dihadapannya bahkan hanya mengenakan kaus polo dan chino pants selutut! Dan dia melupakan nama Andra. Lagi.
"Andra," jawabnya sambil menahan geram dan cemas.
"Andra," ucap pria itu. Melafalkan nama Andra seolah nama itu begitu asing di lidahnya. Ya, memang asing. Nama yang biasa terlafal lidahnya hanya nama-nama para partner bisnisnya. Sedangkan Andra? Hanya anak kemarin sore yang sok berlagak bak pahlawan bagi perusahaan ayahnya yang dalam beberapa bulan ke depan akan bangkrut.
Pria itu menyeringai. "Andra, kamu harus berusaha keras supaya saya bisa ingat nama kamu untuk ke depannya. You have to earn it. Dan apa yang baru saja kamu tawarkan ke saya...itu tidak cukup. Jauh. Sangat jauh dari kata 'berusaha keras'. Maybe next time? Untuk saat ini saya tetap pada pendirian saya."
Pria itu sudah bersiap untuk berdiri dan pergi, tapi buru-buru Andra menahannya. "Saya mohon. Saya bisa-"
Sekali lagi, pria itu mengangkat tangannya. Ia mengembuskan napas kesal. "Dengar, yang sedang kita bicarakan ini adalah merger perusahaan. Ini bukan kerjasama bisnis ecek-ecek. Kamu tahu apa yang terjadi ketika dua perusahaan dijadikan satu?"
Andra tahu. Tentu saja ia tahu. Untuk apa ia jauh-jauh kuliah ke luar negri jika pertanyaan sepele itu saja tak mampu ia jawab?
Masalahnya sekarang ini adalah Andra tidak dalam posisi yang mengijinkannya untuk menjawab. Itu hanya pertanyaan retorik. Sebuah pengingat untuk Andra bahwa perusahaan ayahnya memang terancam pailit.
"Ketika dua perusahaan atau lebih digabungkan, besar kemungkinan hanya satu yang akan tetap bertahan, sisanya bubar. Dalam hal ini, kita sama-sama tahu perusahaan saya yang jauh lebih dominan. Did your father tell you what he wanted? No?" Pria itu kembali menarik salah satu sudut bibirnya ke atas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selisih [ON HOLD]
General FictionAndai cinta yang tercipta terpentang usia saja sudah tabu di mata orang, lantas apa jadinya Dinda yang ternyata sudah jatuh hati pada pria yang tak hanya jauh lebih tua darinya tapi juga menyandang status sebagai ayahnya?