19. Tak Terduga II

3.4K 375 23
                                    

"Masuk!"

Arya masih berkutat dengan berkas di mejanya. Ia tak mau repot-repot mengangkat kepalanya karena tahu itu hanyalah sekretarisnya. Dan benar saja, seorang lelaki di akhir dua puluh tahunan masuk dan berjalan mendekati meja Arya.

"Maaf, pak. Ada yang ingin bertemu."

"Hari ini saya minta kamu kosongkan jadwal saya. Saya nggak mau bertemu siapapun." Arya masih sibuk mencoret-coret kertas di atas mejanya lantas menuliskan beberapa catatan.

"Tapi, pak-"

Sang sekretaris tak sempat menyelesaikan ucapannya karena Arya sudah terlebih dahulu menggebrak meja. Cukup dengan melihat tatapan Arya, sang sekretaris mengerti apa yang harus ia lakukan. Ia harus segera menutup mulutnya. Namun, sang sekretaris juga tahu bahwa orang yang hendak bertemu dengan Arya adalah orang yang sama yang tengah dicari-cari atasannya itu.

"Nona Dinda ingin bertemu bapak," ucap sang sekretaris dengan tenang.

Tatapan murka Arya berubah. Ia menegang sesaat sebelum sadar dengan apa yang terjadi. "Dinda siapa?" tanyanya memastikan.

"Nona Adinda Wangsadinyata."

Faktanya, nama Dinda hanya terdiri dari satu kata. Adinda. Hanya itu. Namun, sang sekretaris tahu gadis yang tengah menunggu di lobi bawah itu sebenarnya menyandang nama belakang Arya juga.

Arya menatap nyalang pada sekretarisnya. Poros otaknya berputar memikirkan kemungkinan yang terjadi. Setelah sekian lama ia berusaha mencari gadis itu, mengapa sekarang? Berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan lamanya ia tak mendapatkan hasil apapun. Lantas mengapa sekarang gadis itu ternyata malah menyerahkan diri?

"Panggil dia kemari. Setelah itu minta sekuriti untuk berjaga di depan pintu saya. Tunggu sampai sepuluh ah lima belas menit baru mereka boleh masuk."

"Baik, pak." Sang sekretaris mengangguk lalu berjalan keluar dari ruangan Arya. Ia melakukan semua sesuai yang diinstruksikan bosnya.

Arya sendiri segera menutup dokumen di hadapannya. Ia bereskan semua berkas-berkas itu dan menggesernya ke samping meja. Ia pun merapikan kemejanya yang tak terlihat kusut. Kedua tangannya lantas bertumpu di atas meja dan terjalin. Ia duduk tegap, menanti sosok yang akan masuk melewati pintu di ruangannya.

Tak berselang lama pintu kayu bercat coklat itu terbuka. Menampilkan sosok gadis yang hanya mengenakan jeans blus lengan panjang, jeans dan sneakers. Salah satu sudut bibir Arya terangkat melihat gadis itu berjalan mendekat padanya. Ia mempersilakan Dinda duduk.

"Mau minum sesuatu? Teh? Kopi? Coklat barangkali?" tanya Arya dengan senyum.

Namun, Dinda tak membalas senyuman maupun sikap ramah itu. Ia tahu jauh di lubuk hati Arya yang terdalam sana pria itu tak benar-benar tersenyum. Dinda yakin pria itu juga pastinya muak harus bersikap ramah padanya. Pada seorang gadis ingusan yang ia buang sejak bayi.

"Tujuan saya kemari bukan untuk minum. Ada hal penting yang harus saya tanyakan pada bapak."

Kedua manusia dalam ruangan itu sejatinya sepasang ayah dan anak. Mereka seharusnya terikat oleh darah yang mengalir di dalam tubuh mereka. Namun, yang terpampang justru sebaliknya. Tak ada ikatan emosional macam apapun yang terlihat dari kedua orang itu. Malah terkesan seperti dua orang asing yang siap berperang.

Arya tersenyum kecil dan mengedikkan bahunya. Ia mempersilakan Dinda.

Raut wajah Dinda tak memperlihatkan emosi apapun. Namun, matanya tak bisa berbohong. Satu detik, mata itu berkilat ngeri. Ada kesakitan, kekecewaan dan amarah.

"Kenapa bapak membuang saya?"

Arya tertegun mendengar pertanyaan itu. Dari segala kemungkinan yang terpikir otaknya, pertanyaan Dinda tidak termasuk di dalamnya. Setidaknya tidak untuk dijadikan pertanyaan pembuka. Dalam hati ia ingin berdiri dan memberi tepuk tangan untuk Dinda. Bagaimanapun juga, untuk sesaat tadi gadis itu berhasil membuatnya terpesona.

Selisih [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang