Clarissa bungkam. Bahkan ketika Axel mulai beranjak dari tempatnya berdiri, ia masih terpaku di tempatnya. Matanya sudah panas dan dadanya mulai sesak. Pandangannya sudah mulai buram ketika Axel berada di tengah tangga.
Axel berhenti dan menoleh pada Clarissa. "Sebanyak apa yang kamu lakukan selama ini demi menarik perhatian Andra, apa semua itu sepadan? Pikir ulang semuanya, Ris! Kamu lebih berharga dari yang kamu kira."
Langkah Axel kembali terdengar menjauh. Tak berselang lama suara pintu tertutup sampai di telinga Clarissa. Beberapa detik kemudian Clarissa tahu kakaknya sudah pergi menggunakan mobil kantor yang tadi memang mengikuti mereka dari belakang. Tinggal Clarissa sendiri di ujung anak tangga. Ia segera berlari menuju kamarnya dan mengunci pintu.
Dinding bercat soft pink adalah hal yang paling menonjol setelah matanya terbiasa dengan nuansa rumah yang cat dinding dan kebanyakan perabotannya berwarna nude dan coklat. Clarissa berjalan perlahan dan duduk di pinggir ranjangnya yang tertutup bed cover yang senada dengan cat dinding kamarnya.
Di hadapannya sana sebuah meja rias besar terpampang. Beberapa boneka kecil, botol-botol dan tabung-tabung skin care berjajar rapi di atasnya. Cermin oval di sana memproyeksikan tubuh bagian atasnya secara jelas. Gadis yang tengah menatap balik padanya itu begitu polos. Wajahnya putih hampir pucat. Bukan karena ia sakit tapi karena memang seperti itu warna asli kulitnya. Ditambah bibirnya yang tipis itu hanya terpoles pelembab bibir bening. Clarissa tampak seperti orang yang baru bangun tidur. Tak ada warna tak ada rona di wajahnya. Hanya memamerkan kulit putih mulus tanpa cela.
Padahal di atas meja riasnya sana terdapat satu tas make up ukuran sedang. Ada brush make up berbagai ukuran di dalam tabung dekat cermin. Segala macam foundation, blush on, eyeliner berbagai tekstur, maskara dan bedak...semua komplit. Bahkan Clarissa punya eyeshadow palette berbagai warna juga eyebrow kits yang lengkap. Semua terjajar rapi di atas mejanya. Dan jumlah mereka terus bertambah tiap bulannya.
Clarissa mengerjapkan matanya dengan cepat guna menghalau air mata yang hampir tumpah. Ia menggigit bibir bawahnya yang masih saja bergetar. Lantas ia berjalan ke arah lemari besar berwarna putih di sebelah kiri ranjangnya. Baju-baju di dalamnya hanya berupa kaus, kemeja flannel dan celana jeans. Ia ambil satu ripped jeans itu dari lemari. Dari atas hingga ke bawah, celana itu penuh cabikan. Sebuah celana yang ia beli dengan harga hampir lima ratus ribu dan robek di mana-mana. Ia tak mengerti dari mana selera orang-orang ini berasal.
Daripada seluruh baju-bajunya di dalam lemari itu Clarissa lebih tertarik pada apa yang ada di dalam walk in closet miliknya. Semua tas, sepatu dan akseroris di sana punya merk ternama. Baju-baju di sana kebanyakan berupa dress yang tak kalah elegan dengan dress yang digunakam para artis saat menghadiri acara penerimaan penghargaan di televisi.
Clarissa melepas pelan genggaman tangannya pada celana jeans yang ia ambil di lemari tadi. Ia tanggalkan semua bajunya dan berjalan ke sebuah sudut di ruangan itu untuk mengambil sebuah sundress berwarna peach. Ia suka mengenakan dress ini ketika di rumah. Sangat nyaman dan sejuk.
Lantas Clarissa berjalan menuju sebuah rak di sudut lainnya. Ia mengambil sebuah jepit rambut berbentuk kelinci. Setengah dari rambutnya ia kucir ke belakang. Di sebuah full body mirror di sana ia berkaca.
Lihat, personanya langsung berubah.
Clarissa tak lagi tampak seperti gadis urakan. Ia terlihat begitu feminin dan imut.
Clarissa segera keluar dari sana dan bergegas duduk di meja riasnya. Awalnya ia hanya berniat memoles bibirnya supaya tak tampak pucat. Namun, ketika lip balm sheer color itu tercetak rata di bibirnya, Clarissa tergoda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selisih [ON HOLD]
General FictionAndai cinta yang tercipta terpentang usia saja sudah tabu di mata orang, lantas apa jadinya Dinda yang ternyata sudah jatuh hati pada pria yang tak hanya jauh lebih tua darinya tapi juga menyandang status sebagai ayahnya?