Arya menutup laptopnya, baru saja selesai dengan video conference-nya. Tangan kanannya memijat area di antara matanya. Kepalanya berdenyut dan terasa berat. Terasa berat hingga ia menopangnya dengan kedua tangan. Para pemegang saham itu lagi-lagi menekannya. Memojokkannya bahkan mengancam akan melengserkan dirinya turun dari jabatan direktur.
Beraninya mereka!
Arya mengumpat lalu menghantam meja kayu dengan kepalan tangannya. Bunyi debam keras tercipta, bersamaan getaran yang membuat pulpen di sebelah laptopnya menggelinding jatuh.
"Kamu kenapa sih?" tanya suara wanita. Ia meletakkan pulpen yang jatuh tadi ke atas meja. "Ada masalah?" Kini wanita itu berjalan memutari meja dan berdiri di samping Arya. Ia memijat pundak suaminya yang terasa menegang.
Arya tak berniat menjawab pertanyaan itu. Toh Arya yakin istrinya sudah tahu masalah apa yang ia hadapi kini. "Gimana Dinda? Sudah ketemu?"
"Belum. Tapi aku yakin Prabu yang sembunyiin dia. Kita hanya perlu menunggu. Tunggu sampai dia sendiri yang bergerak menemui Dinda. Kita ikuti dan Dinda jadi milik kita."
Arya mendengkus. Tak tahu harus marah atau menangis. Semua keadaan ini membuatnya frustrasi. Belasan tahun ia memimpin perusahaan ini, membawanya naik ke puncak kejayaan. Sekarang? Hanya karena satu masalah kecil, mereka berani menentangnya. Dengan terbuka menantang bahkan mengancam melengserkan dirinya.
"Kamu urusin anak kamu. Aku mau tidur." Arya menepis kasar tangan istrinya. Ia lantas bangkit berdiri dan berjalan keluar dari ruang kerjanya.
Anjani hanya diam. Ia memperhatikan punggung suaminya hingga hilang di balik pintu. Lantas kedua lengannya terlipat di dada. Ia mendengkus sinis. "Kamu yang berulah, kenapa aku yang harus tanggung jawab?!"
Pandangan Anjani lantas jatuh pada pigura kecil di atas meja. Sebuah foto pernikahan. Anjani tampak cantik dan anggun dalam balutan gaun putih itu. Caranya duduk terlihat seperti wanita berkelas, tatapannya lembut dan feminin. Di sebelahnya, Arya berdiri dengan tampak gagah dan angkuh dalam balutan jas yang sewarna dengan milik Anjani. Tatapan lelaki dalam foto itu seolah mampu membalas dan menghunus mata Anjani sekarang.
Pria itu dari dulu memang seangkuh itu, cibir Anjani dalam hati. Begitu angkuh hingga pria itu berpikir dirinya selalu ada di atas. Menolak kalah. Menolak disalahkan. Sama seperti sekarang ini, ketika perusahaan hampir bangkrut karena kecerobohan Arya dalam merekrut asisten. Sekarang, ketika asisten itu ternyata seorang pengkhianat yang dengan mudah menjual rahasia perusahaan pada kompetitor, orang lain yang harus membereskannya.
Anjani berdecih sinis. Ia langsung menelungkupkan bingkai foto itu dengan keras. Kalau bukan karena mengingat ia tak akan mendapatkan apapun jika bercerai nanti, Anjani tak mau repot-repot seperti ini.
Anjani lantas keluar dari ruangan itu. Tepat saat ia menutup pintu ruangan, sosok Andra terlihat berjalan menuju kamarnya. Tanpa ragu Anjani melangkahkan kakinya mendekati Andra.
"Andra! Dari mana kamu?"
"Mama?!"
Anjani mengerutkan keningnya karena mendapati Andra tampak terkejut melihatnya. Saat itulah perhatiannya tersedot pada penampilan Andra. Selain raut wajah yang tampak lelah dan kuyu, pakaian Andra cukup menimbulkan rasa curiga bagi Anjani. Meski kemeja biru langit itu dua kancing teratasnya sudah terbuka dan lengannya sudah dilipat hingga siku bahkan salah satu ujung kemejanya keluar dari celana, Anjani tak mungkin salah menduga bahwa celana hitam dan pakaian yang tergantung di lengan kiri Andra adalah sebuah setelan jas.
"Kamu pakai jas?"
Andra tergagap. "Ma-mama belum tidur?" tanya Andra malahan. Ia tak tahu harus berucap apa. Cukup sudah tenaga dan pikirannya terkuras tadi siang untuk menemui Raja. Sekarang, haruskah Andra memutar otaknya lagi untuk berbohong pada ibunya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Selisih [ON HOLD]
General FictionAndai cinta yang tercipta terpentang usia saja sudah tabu di mata orang, lantas apa jadinya Dinda yang ternyata sudah jatuh hati pada pria yang tak hanya jauh lebih tua darinya tapi juga menyandang status sebagai ayahnya?