6. Collide

4.2K 608 45
                                    

Dinda tengah menggoreng bakwan di sebelah eyangnya yang tengah mengaduk kuah soto ketika getaran itu terasa lagi dari saku belakang celananya. Ia mengerang dalam hati. Merutuk. Mengapa semalam ia kalap dan menghubungi Prabu?! Lihat sekarang! Belum juga ada satu jam semenjak terakhir kali Dinda mengirim pesan pada Prabu pagi ini, pria itu sudah meneror ponselnya dengan panggilan. Sampai lima kali.

Dinda meraih ponsel dari saku belakangnya. Benar dugaannya. Nomor Prabulah yang tertera di layarnya. Dinda menggigit bibir bagian bawahnya. Haruskah ia mengangkat panggilan itu?

"Siapa?" Pertanyaan Prapti membuat Dinda menoleh ke kiri. Prapti tengah menunjuk ponsel di tangan Dinda melalui tatapan matanya.

"Ayah Dinda," jawab Dinda pelan. Ia memaksakan senyumnya.

"Prabu?"

"I-iya." Untuk satu detik Dinda terkejut Prapti tahu nama ayahnya. Namun detik berikutnya ia ingat bahwa Prabu dulu sempat menjadi menantu eyangnya. Betapa bodohnya Dinda. Sekarang ia meringis dalam hati. Bagaimana bisa ia jatuh hati pada pria yang pernah menikahi ibunya?

"Kenapa ndak diangkat?" Prapti menggeser Dinda. Sekarang ia tengah membalik bakwan.

Dinda menggeleng. "Kan...lagi kerja, eyang."

Prapti tertawa. Merasa heran sekaligus geli dengan jawaban polos cucunya. "Walah, nduk! Kamu kan kerja juga sama eyang. Yang telepon juga bapakmu. Pelanggan juga masih satu-dua orang aja." Prapti tersenyum lebar, memperlihatkan gigi geraham kecil bagian bawahnya yang tanggal. "Wis! Sana diangkat dulu. Ndak apa-apa."

Dinda mengangguk. Ia lantas beranjak dari dapur dan keluar. Ia duduk di meja belakang yang memang belum ada pelanggan.

"Kenapa, yah?"

Lagi-lagi Dinda meringis dengan panggilannya itu untuk Prabu. Dadanya berdebar tak nyaman. Hatinya tak menyetujui panggilan itu untuk Prabu. Namun selama dua puluh satu tahun Dinda hidup, ia sudah memanggil Prabu dengan sebutan 'ayah'. Lantas sekarang ia harus bagaimana?

"Kamu yakin nggak mau ayah ke sana? Ayah bisa-"

"Nggak perlu," sahut Dinda. Sudah dari tadi malam ia diteror dengan pertanyaan itu. "Dinda aman. Ayah kerja di sana aja kayak biasanya. Andra orang baik. Aku percaya dia beneran akan bantu kita."

"Tapi-"

"Yah! Dinda nggak akan kenapa-kenapa. Ayah harus yakin kalau Dinda baik-baik aja."

"Gimana ayah bisa yakin kamu baik-baik aja kalau ayah sendiri nggak bisa memastikan keadaan kamu secara langsung? Kamu nggak ngerti apa yang ayah rasakan-"

"Jangan ngomong gitu!" seru Dinda. Ia melirik ke kiri dan kanan, memastikan tak ada siapapun yabg berpotensi mendengar ucapannya. "Ayah sendiri nggak tahu perasaan Dinda. Dinda punya perasaan lebih ke ayah. Apa yang terjadi sama Dinda sekarang ini nggak akan mengubah fakta itu. Dinda sayang ayah, melebihi apa yang ayah bayangkan. Bahkan sekarang ini Dinda merasa berdosa karena memanggil pria yang Dinda cinta sebagai ayah."

"Dinda..."

"Nggak! Apapun nggak akan mengubah fakta itu dalam sekejap. Dinda nggak akan memandang ayah dengan sudut pandang yang sama lagi. Kalau boleh..." Sejenak Dinda meragu. Ia menarik napas dalam-dalam. "Kalau boleh, Dinda nggak mau lagi pakai kata 'ayah' untuk nyebut pria yang Dinda cinta."

Sudah itu Dinda langsung mengakhiri panggilan secara sepihak. Jantungnya berdebar kencang. Ia sampai memejamkan mata karena anehnya dadanya justru merasa lega. Jauh lebih lega dari sebelumnya. Tanpa ia sadari senyumnya juga ikut terkembang. Bahkan kalau tak mengingat ia sedang berada di tempat terbuka, mungkin Dinda sudah berteriak karena terlalu senang.

Selisih [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang