Raja tersenyum sambil menaiki anak tangga di rumahnya. Entah kenapa dia merasa begitu terhibur hari ini. Apa karena dia mendapatkan mainan baru?
Raja puas bisa membuat gadis itu ada dalam genggamannya. Masa enam bulan memang belum berakhir. Dia akan menunggu itu...sambil bermain-main sebentar dengan mangsanya. Seperti kucing besar yang tak langsung menerkam dan melahap buruannya. Ia akan berlari-lari sebentar, mengikuti ke manapun arah sang buruan berlari. Sudah ia bosan, barulah ia akan menerkam dan mencabik leher mangsanya.
Di ujung anak tangga teratas Raja mendapati Ranti tengah menyeret sebuah koper. Wanita itu sepertinya hendak pergi. Apa shopping lagi? Ke mana kali ini? Singapura? Eropa?
"Mama mau ke mana?" Senyum yang tadi menghiasi wajah Raja perlahan sirna saat mendapati wajah Ranti yang biasanya cerah kini terlihat murung.
Tidak langsung menjawab pertanyaan Raja, Ranti malah memandang wajah putranya dalam diam. Dia menghela napas dalam dan berat. "Ke Bogor."
Begitu saja dan seluruh euphoria yang tadi di rasakan Raja langsung sirna. Dunianya langsung runtuh begitu saja hanya dengan mendengar nama kota itu. Sinar mentari yang tadi mungkin menghiasi wajahnya kini tertutup awan mendung. Atau malah awan badai. Raja tak perlu menanyakan urusan mamanya. Dia sudah tahu atau malah tidak ingin tahu dari awal.
"Raja..." panggil mamanya dengan pelan. "Apa nggak sebaiknya kamu ikut mama menemui-"
"Berapa lama mama di sana?" Raja langsung memotong ucapan Ranti. Seolah dia memang tidak mau Ranti menyelesaikan kalimatnya.
"Mama belum tahu..."
Raja mengangguk, sekadar menunjukkan gestur kosong. Ia hanya ingin percakapan ini segera berakhir. Lantas ia bergegas masuk ke kamarnya. Ia lepas segala atribut yang menempel di tubuhnya. Lantas ia guyur tubuhnya di bawah kucuran air hangat.
Kepalanya menunduk, matanya menatap kosong pada satu titik di ubin kamar mandi. Rambutnya yang agak panjang jatuh lemas hampir menutup sisi matanya. Tetesan-tetesan air itu mengguyur kepala Raja, lantas mengalir menuruni setiap lekuk tubuhnya. Sesekali satu dua tetesnya menelinap melewati sela mata Raja, turun melalui hidung bangirnya dan berakhir jatuh bersama tetesan lain di lantai.
Ritual mandi yang biasa dia lakukan selama dua puluh menit itu kali ini terasa lama. Atau memang ternyata lebih lama? Raja terlalu lama berdiam diri di sana. Raganya tak bergerak seolah kakinya terpatri di sana. Namun, lain jiwanya. Pikirannya melayang...jauh...terbang entah ke mana. Mungkin ke suatu tempat yang selama ini tidak pernah dipijaknya. Mungkin ke suatu tempat yang tak ingin dikunjunginya. Yang manapun, Raja sendiri tidak tahu pasti.
👑👑👑
"Heh jalang!"
Dinda meneruskan langkahnya menuju kantin. Hari begitu terik dan mata pelajaran tambahan tadi cukup menguras energinya. Dinda rasa tak ada salahnya jika ia mampir ke kanting barang sepuluh atau lima belas menit saja. Perutnya sudah meronta minta diisi, tenggorokannya pun sudah kering.
"Heh, lo budeg ya?! Habis rebut pacar orang sekarang lo nggak bisa denger?"
Derap langkah kaki Dinda mantap, tak tergoyahkan. Sementara di belakangnya tiga pasanga kaki lainnya mengikutinya tanpa diundang. Dinda sudah biasa meladeni tiga primadona sekolah itu. Lebih tepatnya mengabaikan ketiganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selisih [ON HOLD]
General FictionAndai cinta yang tercipta terpentang usia saja sudah tabu di mata orang, lantas apa jadinya Dinda yang ternyata sudah jatuh hati pada pria yang tak hanya jauh lebih tua darinya tapi juga menyandang status sebagai ayahnya?