10. The Third Heir of The Lukito Family

3.4K 443 21
                                    

"Kenyang!" Andra mengusap perutnya yang sudah terisi tiga double cheeseburger, kentang goreng, beberapa potong nugget dan segelas coke float.

"Kenyanglah. Lo makan nggak kira-kira. Semua diembat." Clarissa mengusap pelan mulutnya dengan tisu.

"Cha!" panggil Andra dengan nama kecilnya. "Pesen nugget lagi dong. Gue bayarin."

Mata Clarissa tak kuasa untuk tak melotot. "Lo laper apa gimana? Perut lo nggak meledak?"

"Halah timbang nugget mah buat nyemil doang. Buruan gih!"

"Ogah! Lagian lo dari tadi makan mulu. Katanya mau bahas bisnis. Mana?"

"Nggak sabaran amat lo. Gue dari kemarin belum makan. Laper. Dah ah lo kalau nggak mau, gue pesen sendiri." Andra berdiri dan mulai berjalan.

"Nitip ice cream cone satu, Ndra!"

"Ogah!" Seru Andra sambil terus berjalan.

Clarissa tertawa pelan. Ia tahu meski Andra menolak, lelaki itu nanti pasti kembali dengan es krim pesanannya. Ia lihat sosok Andra mengantre. Untuk sesaat Clarissa berpikir bahwa Andra memiliki punggung yang indah. Antara lebar pundak dengan panjang dari pundak ke panggulnya pas. Meski tertutup kaus, Clarissa bisa membayangkan sekokoh apa punggung di baliknya. Itu bagian favoritnya. Bagian tubuh Andra yang sejauh ini bisa ia perhatikan dengan puas tanpa harus membuat dirinya tersipu. Bahkan Clarissa tahu ada satu tahi lalat kecil di area tulang belikat sebelah kanan Andra. Ia juga tahu ada keloid putih di pinggang sebelah kirinya akibat jatuh dari pohon saat usianya sepuluh tahun. Kalau punggung Andra adalah sebuah peta, Clarissa sudah menghafal tiap sudut, tiap lengkung di atasnya.

"Ayo pulang!"

Lamunan Clarissa buyar seketika. Seorang lelaki tiba-tiba saja menarik pergelangan tangannya. Tak hanya begitu, orang tersebut bahkan berusaha membuat Clarissa berdiri dan menyeretnya.

Clarissa tadinya hendak berteriak. Namun, begitu ia mendongak dan mendapati wajah kakak keduanya, teriakan itu tertelan begitu saja. "Aku masih makan, kak." Clarissa menolak tapi berusaha menjaga suaranya supaya tak menarik perhatian pengunjung yang lain.

"Kamu bisa makan di rumah."

"Kak Axel nggak bisa paksa aku!"

"Kamu turuti perintahku atau kamu akan malu karena kuseret dari sini."

Clarissa menelan kembali semua protesnya. Ucapan kakaknya tadi bukan sebuah penawaran pun sebuah perintah. Namun, Clarissa tahu ada ancaman tersembunyi di baliknya. Ia tahu kakaknya tak akan segan-segan merealisasikan apapun rencananya untuk membuat Clarissa malu. Maka dari itu, satu-satunya hal yang paling masuk akal yang bisa dan harus dilakukan oleh Clarissa saat ini adalah menurut. Ia mengambil ponsel, kunci mobil dan dompetnya dari atas meja lalu mengikuti kakaknya berjalan keluar dari restoran cepat saji itu. Tanpa berpamitan pada Andra.

Andra sendiri awalnya tak tahu dengan keributan yang hampir terjadi di belakangnya. Waktu ia berbalik dan berjalan ke mejanya, Andra tak punya pikiran macam-macam. Ketika meja itu kosong, Andra hanya berpikir bahwa Clarissa tengah pergi ke toilet. Namun, saat ia tak mendapati barang-barang Clarissa, Andra mulai menolehkan kepalanya ke sana-kemari. Pandangannya tertuju jauh di pelataran parkiran. Clarissa tengah digandeng paksa oleh seorang laki-laki yang sudah dikenal Andra sejak kecil sebagai kakak kandung Clarissa.

Pria dengan setelan kemeja marun dan dasi hitam itu memaksa Clarissa masuk ke dalam mobil. Lantas ia sendiri berlari berputar untuk duduk di kursi kemudi. Tak lama keduanya lantas melaju pergi dari sana.

Andra masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia hanya menduga jika ada keadaan mendesak yang memaksa Axel untuk datang menjemput Clarissa. Untuk sesaat Andra bimbang harus menghubungi Clarissa atau tidak. Ia sadar mungkin bukan haknya untuk mencari tahu tapi ia juga sedikit cemas dengan keadaan Clarissa. Apalagi gadis itu tadi sepertinya terlihat terpaksa.

Selisih [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang