13. Konspirasi

3.2K 450 72
                                    

TBH, aku masih merasa part ini belum lengkap. Kayak ada satu paragraf penting yang hilang. Dari kemarin nyari-nyari nggak ketemu apa yang salah. Malah bikin mood anjlok.

Tadinya mau tahan dulu biar nggak ku-publish tapi...ya sudahlah, sambil jalan nanti siapa tahu ketemu hehe

Hope you enjoy this one ❤

=========================

Dinda mematut dirinya di cermin. Overall jeans dengan kaus putih polos menjadi pilihannya. Ini satu dari sedikit baju yang ibunya punya yang berupa celana. Kebanyakan baju-baju ibunya memang berupa gaun dan rok selutut. Ternyata ibunya dulu tipe perempuan yang suka tampil feminin.

Sama saja seperti dirinya ternyata. Namun, Dinda ragu apakah Anjani punya sisi tomboy barang sedikit saja. Karena bagaimanapun juga, sesuai yang diucapkan Hamdan tempo hari, Dinda memang tampak feminin dari luar. Dinda memiliki rambut sepunggung yang lurus dan indah jika digerai. Mata almon miliknya terbingkai bulu mata yang panjang dan lentik. Hidungnya mungil dan mancung. Bibirnya penuh merona merah jambu. Tiap kali ia tersenyum, wajahnya terlihat begitu manis. Akan tetapi Dinda tak akan pikir dua kali jika disuruh memanjat pagar supaya tidak berdiri konyol di luar rumah. Tak peduli jika karat dari besi mengotori atau bahkan menggores jemarinya yang lentik.

Langit sudah menampakkan semburat kebiruan tapi jalanan masih gelap. Lampu-lampu teras dan jalanan masih menyala. Melalui jendela kamarnya ia bisa melihat halaman samping rumah tempat ia menjemur baju. Baju-baju lawas itu sudah berjajar rapi dan masih meneteskan air.

Pada akhirnya Dinda berhasil membujuk Prapti supaya ia bisa mencuci sendiri semua baju itu. Pagi tadi ia sudah bangun dan mencuci semua baju-baju itu. Setidaknya hanya itu yang bisa ia kerjakan. Sudah menumpang, tak mungkin Dinda biarkan eyangnya mengeluarkan uang lebih apalagi hanya untuk urusan mencuci baju.

Dinda tersenyum puas seusai mencepol rambutnya. Beberapa helai rambut bayi di keningnya tergerai karena tak bisa diikat. Hidungnya sedikit merah karena ia bersin-bersin terus akibat bangun terlalu pagi dan nekat mencuci baju di pagi buta. Harusnya ia perhitungkan bahwa udara di kampung jelas lebih dingin dari Jakarta yang padat penduduknya itu.

Dinda meraih ponselnya. Tumben sekali ponsel itu begitu sepi. Tak ada notifikasi apapun dari Prabu; entah panggilan maupun pesan singkat. Dinda sedikit gelisah. Ia berpikir mungkin Prabu sudah terlalu marah padanya akibat sering diabaikan. Sempat terlintas di benaknya untuk menghubungi Prabu. Jam lima begini biasanya Prabu sudah bangun.

Namun, niat itu batal ketika suara ketukan pintu terdengar telinganya. Dinda mengantongi ponsel miliknya dan membuka pintu kamarnya. Prapti sudah rapi dengan rok panjang dan atasan batik.

"Sudah siap, nduk?" Tanya Prapti sambil menggelung rambut panjangnya.

"Udah, eyang. Mau berangkat sekarang?" Dinda keluar dari kamar dan menutup pintunya.

Prapti mengangguk. "Eyang sudah bawa tas belanjanya ke depan. Tolong kamu bawain baskom di belakang ya. Yang isi ayam. Nanti kamu ke warung dulu, goreng ayamnya sama gorengannya. Sambil nunggu eyang selesai di pasar."

"Eyang nggak mau aku anterin aja? Biar ada yang bawain barang nanti di pasar."

"Wis, ndak usah. Eyang masih kuat. Wong cuma bawa sayur aja kok."

Selisih [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang