9.

3.9K 525 71
                                    

Hai semuanya.
Seperti yang kalian lihat, chapter ini belum dikasih judul. Tolong dong, bantuin aku mikir judulnya hehe 😁
Thanks in advance 😘

=====

"Kencan?" Dinda tertawa. "Om Hamdan ada-ada aja. Udah ya, om, saya masuk dulu."

Hamdan tak menahan Dinda lagi. Ia hanya mengedikkan bahunya. Masih dengan senyum samar Hamdan pergi dari sana dan berjalan menuju rumahnya.

Sementara, tak jauh dari sana seorang pria tinggi kekar dengan kepala plontos tengah mengawasi keduanya. Ia menutup kaca mobilnya sebelum mengambil ponselnya dari dashboard. Malam ini tugasnya selesai, hanya tinggal melaporkan semuanya. Secara detail.

"Cari tahu siapa lelaki itu!" Suara berat si penerima panggilan itu begitu mendominasi. Titahnya tak terbantahkan.

"Namanya Hamdan, pak," kata pria plontos. "Dulu tinggal di sebelah rumah bu Prapti. Setelah bapaknya menikah, dia pindah rumah. Rumah yang dulu kosong."

"Hubungannya sama Dinda?"

"Hanya sebatas tetangga."

"Yakin?"

"..."

Seolah tahu bahwa ada keraguan yang dirasakan orang suruhannya, Raja berucap, "selidiki lagi! Laporkan terus semua kegiatan Dinda."

"Mengerti, pak."

Tanpa kata apapun lagi Raja mematikan sambungannya. Raja memandang kosong taman rumahnya dari balkon kamarnya. Ia memang berjanji tak akan menyentuh Dinda. Namun, bukan berarti ia membiarkan gadis itu berkeliaran sesukanya. Tak akan ia biarkan mangsanya lepas begitu saja. Bagaimanapun juga Dinda adalah asetnya. Gadis itu adalah miliknya. Sudah sewajarnya bukan ia mengawasi miliknya?

👑👑👑

Prabu menaruh lengan kanannya untuk menutup mata. Tubuhnya lelah seharian bekerja. Namun, nyatanya itu tak membuatnya bisa tidur dengan mudah. Padahal ini sudah tengah malam. Pikirannya selalu terbang jauh pada Dinda. Sempat terlintas untuk menghubunginya, tapi Prabu yakin, sama seperti panggilan-panggilannya tadi sore, panggilannya kali inipun tak akan diangkat.

Ia sudah akan terlelap tidur ketika tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Prabu berdecak kesal dan memutuskan untuk tak menanggapi panggilan itu. Ia berguling ke kiri dan menutup telinganya dengan bantal.

Namun dering ponsel itu tak kunjung berhenti.

Prabu mendengkus lalu segera beranjak dari kasur busanya. Ia mengambil ponselnya yang ada di meja pendek di sudut kamar, berniat mematikannya. Namun, begitu melihat nama penelepon ibu jarinya justru menekan tombol hijau.

"Kenapa, Man?"

"Bocah yang lo cari udah ketemu. Ada di rumah gue sekarang."

Reflek, tubuh Prabu menegap. "Tahan dia. Gue ke sana sekarang."

"Santai aja..." Kalimat itu diakhiri dengan kekehan. Prabu tahu itu jenis kekehan yang menyimpan banyak arti, apapun itu, tidak baik.

Prabu segera mematikan sambungan. Ia ganti men-dial nomor Pras. "Ke rumah Paman sekarang! Tuh bocah udah ketemu." Prabu bahkan tak perlu menunggu Pras menyapa terlebih dahulu.

"Oke."

Sekitar setengah jam kemudian, Prabu sudah memarkirkan motornya di pelataran rumah susun. Di samping motornya sudah terparkir matik hitam yang bumper belakangnya terdapat stiker kepala kelinci. Meski plat nomornya beda, Prabu yakin itu motor yang selama ini ia dan Pras cari. Pras menyusul beberapa saat setelahnya. Keduanya lantas naik ke lantai dua dan menuju rumah rekan Prabu yang dikenal dengan nama Paman.

Selisih [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang