12. Longing

3K 463 73
                                    

Dinda duduk bersila di kursi rotan di depan rumah. Pandangannya menerawang. Pikirannya terbang ke mana-mana. Sesekali angin berembus menerbangkan rambutnya. Perpaduan yang sempurna di siang ini untuk membuatnya terlelap. Dinda sempat terlena untuk menjemput rasa kantuknya tapi ia tahu begitu tubuhnya beranjak dari sana maka rasa kantuknya akan sirna seketika.

Sudah berapa lama Dinda melarikan diri ke sini?

Harus berapa lama lagi ia sembunyi?

Apakah ia bisa bebas nantinya?

Apakah keputusannya mempercayai Andra sudah tepat?

Ataukah Dinda selama ini sudah gegabah?

Apakah di akhir ceritanya ia akan tertangkap dan menjadi istri dari konglomerat itu?

Dinda bahkan tak tahu ia sedang lari dari siapa. Hanya mendengar ide bahwa ia akan dijodohkan dengan salah satu rekan bisnis orang tua kandungnya saja sudah membuatnya mual. Dinda tak tahu apa yang ia lakukan di sini.

Pagi ini ia kembali membuat ayahnya berang. Untuk yang ke sekian kalinya ia mengabaikan panggilan ayahnya. Dinda bukannya tak ingin bicara dengan Prabu. Ia justru merindukan kehadiran pria itu. Selama ini hanya Prabu yang jadi tempat bersandarnya. Lantas sekarang? Ketika tiba-tiba saja ia merasa tersesat dan tak tahu apa yang harus dilakukan, ke mana ia harus bersandar?

Prabu...bagaimana keadaan pria itu?

"Dinda!"

Panggilan Prapti dari dalam rumah menyentak Dinda dari lamunannya. Ia beranjak dari duduk nyamannya dan melangkahkan kaki masuk ke rumah. Eyangnya telah menunggu di kursi ruang tengah dengan setumpuk baju yang tidak dilipat.

"Sementara kamu pakai ini dulu ya?" ucap Prapti setelah Dinda duduk di sampingnya. Ia menepuk pakaian teratas di pangkuannya. "Ini baju-baju mama kamu yang kemarin kamu taruh di gudang. Udah eyang pilihin yang masih bagus. Nanti kalau eyang ada uang lebih, kita ke pasar beli baju yang kamu mau."

Dinda mengangguk. Ia memang hanya datang membawa seransel pakaian. Jumlahnya tak seberapa. Selama ini Dinda selalu mencuci pakaiannya tiap hari, begitu kering ia kembali memakainya. Sebenarnya ia tak keberatan dengan hal itu, eyangnya yang lama-lama merasa kasihan karena melihat baju-baju Dinda yang tampak mulai pudar saking seringnya dicuci dan dijemur.

"Nanti biar dilondri dulu. Kan sudah apek ditaruh gudang selama beberapa hari. Belum disimpan dalam lemari bertahun-tahun."

Dinda menggeleng. "Nggak usah, eyang. Biar Dinda yang cuci sendiri. Dinda bisa kok. Udah biasa di rumah." Dinda hendak mengambil alih tumpukan baju di pangkuan Prapti tapi eyangnya menolak.

Prapti memandang Dinda dengan luapan penuh emosi. Gadis ini, sebutnya dalam hati, seberapa besar beban yang selama ini ia pikul? Dibuang keluarganya. Tak pernah mendapat apapun dari keluarga kandungnya. Bahkan bertemu saja tidak. Kini setelah sekian tahun berlalu, orang-orang itu datang meminta banyak darinya. Bahkan sapi perah masih diberi kandang dan dirawat kondisinya. Sedangkan Dinda?

"Iya, eyang percaya. Ayahmu itu dari dulu, sejak muda memang rajin orangnya. Udah nikah juga baju-bajunya dicuci sendiri. Malah kadang kalau eyang main ke sana baju-baju eyang dicuciin. Pinter masak juga ta?"

Dinda tersenyum tipis. Ayahnya memang serajin itu. Sejak kecil Dinda terbiasa melihat sosok ayahnya berkecimpung di dapur untuk memasak dan di sumur untuk mencuci. Bahkan ketika Dinda sudah dewasa dan bisa mencuci bajunya sendiri, Prabu tetap menolak untuk dicucikan bajunya. Padahal tak jarang karena alasan itu Dinda mendapati ayahnya malam-malam berada di sumur berkutat dengan baju-baju kotor. Dinda juga bisa memasak karena Prabu. Dari kecil ia diwanti oleh ayahnya bahwa menjadi wanita itu tak boleh tak punya keahlian mengurus rumah.

Selisih [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang