3. Tekad

5K 663 46
                                    

Ayah, maaf Dinda pergi tanpa pamit.
Dinda nggak mau dijodohkan. Sama siapapun. Dinda nggak mau ayah kena imbasnya kalau Dinda menetap di sini.

Dinda pergi. Nggak perlu dicari. Dinda aman. Ayah nggak perlu khawatir tentang keadaan Dinda. Nanti kalau semuanya sudah kembali seperti semula, Dinda akan pulang.

Jaga diri ya, yah. Dinda sayang ayah.

Dinda

Prabu meremas selembar kertas di tangannya. Setelah lelah seharian bekerja, Prabu berharap ia pulang dan bisa beristirahat dengan tenang. Namun yang didapatinya justru adalah rumah yang masih dalam keadaan gelap. Gerbang rumah masih tergembok, dan itu membuat Prabu heran. Ia sempat berpikir kalau mungkin saja Dinda belum pulang.

Prabu ingat hari ini Dinda sidang. Ia percaya Dinda pasti lulus. Ia ingin merayakannya di luar. Prabu ingin mengajak Dinda pergi makan malam di luar. Berdua. Memanjakannya dengan layak.

Namun, Prabu justru dibuat terkejut dengan selembar surat yang ditempelkan Dinda di pitu kamarnya. Prabu tak habis pikir apa yang dipikirkan gadis itu. Padahal Prabu sudah berjanji akan menjaganya. Ia tak akan membiarkan mantan istrinya atau siapapun menyakiti Dinda. Lantas apa yang ia dapat? Dinda justru pergi meninggalkannya. Membiarkan Prabu pulang ke rumah untuk disambut kehampaan.

Drama macam apa lagi ini?!

Kemana Dinda pergi? Mengapa ia sampai harus meninggalkan Prabu seperti ini? Apa Dinda tak percaya pada Prabu?

Prabu menyugar rambutnya dengan tangannya yang bebas lalu meremasnya. Kepalanya serasa kosong sekaligus penuh dalam waktu bersamaan. Rasanya mau pecah. Gadis itu satu-satunya yang ia punya. Semua harapan dan kasih sayang yang Prabu punya ada dalam diri Dinda. Namun gadis itu justru pergi begitu saja. Menghilang. Tak tahu pergi kemana.

"Kemana kamu, Dinda?"

👑👑👑

Pagi-pagi Prabu sudah keluar dari rumahnya. Ia tak langsung menuju bengkel. Motornya justru melaju ke arah kampus Dinda. Satu tujuannya; mencari jejak Dinda!

Tiga hari sudah Prabu menunggu di depan gerbang kampus seperti ini. Selama tiga hari itu pula ia tak mendapati orang yang ia cari; Renata. Hanya gadis itu teman Dinda yang Prabu tahu. Hanya dia satu-satunya harapan Prabu untuk mencari jejak Dinda. Namun sampai sekarang sosok gadis itu tak terlihat sama sekali.

Ponsel di saku Prabu bergetar. Ia segera merogohnya, berharap si penelepon adalah putrinya. Namun ketika matanya menatap layar, bahunya turun.

"Ya, Pras?" sapa Prabu sambil mengusap keningnya yang berkeringat karena terik matahari.

"Lo di mana?! Tiga hari nggak masuk kerja dan nggak ada kabar apapun? Lo pikir bengkel gue punya nenek moyang lo?!"

Prabu meringis. Ia memijat pelipisnya yang tiba-tiba terasa berdenyut.

"Kalau nggak inget lo temen seperjuangan gue, udah gue pecat."

"Sori. Gue nggak bisa masuk kerja dulu-"

"Kalau itu juga nggak usah dibilangin gue tahu. Gue tanya lo kemana? Kenapa lo nggak masuk kerja? Lo nyusahin anak-anak! Kerjaan lo belum kelar tapi main tinggal aja."

"Sori, Pras, gue bener-bener nggak bisa kerja dulu. Ada urusan penting yang harus gue selesain."

"Urusan apa? Lo sakit? Atau anak lo?"

Sekali lagi Prabu memijat pelipisnya. Terik matahari dan masalah tentang Dinda ini jelas bukan kombinasi yang bagus untuk kepalanya.

"Dinda kabur."

Selisih [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang