15. Peringatan

3.2K 453 50
                                    

Dinda mematut dirinya di depan cermin. Sebuah blus lengan panjang berwarna biru langit tersemat di tubuh bagian atasnya. Sepasang kakinya terbalut celana jeans hitam yang telah disetrika licin. Rambut lurusnya dikucir ekor kuda. Setelah yakin rapi, ia menggapai tas selempang di atas meja belajar lalu berjalan keluar kamar.

Saat itu ia berpapasan dengan Prabu. Keduanya saling tatap dan meneliti penampilan masing-masing dalam diam.

"Ayah pulang sekarang?" tanya Dinda begitu melihat ransel di pundak kiri Prabu. Meski tempo hari lalu ia berjanji tak mau lagi memanggil Prabu dengan sebutan ayah, pada kenyataannya itu akan terdengar gila jika orang lain mengetahuinya. Apa jadinya jika Prapti sampai tahu cucunya jatuh hati pada mantan menantunya?

"Iya. Kamu mau kemana?"

Tanpa sadar Dinda meremas tali tasnya. "Mau berangkat ngelesin."

"Eyangmu tahu?"

Dinda mengangguk. "Yang nyariin murid tetangganya eyang. Yang rumahnya di sebelah."

Untuk beberapa detik Prabu hanya memandang Dinda. "Kamu buka rekening ya. Nanti tiap minggu ayah kirimi uang. Jangan ngerepotin eyangmu!"

"Nggak usah, yah. Dinda kan sekarang kerja. Walaupun cuma ngelesin, kalau untuk sehari-hari pasti cukup. Uangnya ayah simpan aja."

"Cukup," beo Prabu. "Memang berapa banyak bocah yang kamu lesin? Berapa kali pertemuan seminggu? Dibayar berapa? Yakin nggak akan bermasalah seperti dulu?"

Dinda menahan napasnya ketika kalimat terakhir itu terlontar dari mulut Prabu. Pertanyaan itu memicu kilasan memori di otaknya. Sebuah memori yang membuat dunianya jungkir balik.

Dasar anak pungut!

Dinda menghela napas panjang dan perlahan. Ia segera mengenyahkan teriakan itu dari dalam kepalanya. Sekian tahun berlalu tapi efek yang ditimbulkan dari seruan itu tetap sama. Jantungnya serasa diremas.

"Itu kan udah lama banget. Lagipula waktu kuliah, Dinda juga ngelesin lagi. Nggak ada apa-apa. Mm...Ayah nggak nungguin Dinda pulang? Nanti Dinda antar ke stasiun."

Prabu menggeleng. "Nggak usah. Ini ayah mau ke depan. Naik angkot ke terminal. Kamu kalau mau berangkat ngelesin hati-hati. Naik apa?"

Dinda semakin mencengkram erat tali tasnya. Ia tampak ragu untuk menjawab pertanyaan Prabu. "Nanti diantar sama tetangga eyang."

"Tetangga? Laki-laki?"

Dinda mengangguk ragu. "Tapi cuma hari ini aja kok. Cuma biar Dinda tahu jalan ke sana. Nanti-nanti Dinda berangkat sendiri pakai sepeda eyang," buru-buru Dinda menjelaskan. Ayahnya tak pernah suka jika ia berdekatan dengan lawan jenis.

Prabu tersenyum tipis. "Iya. Ayah percaya kamu udah dewasa. Kamu tahu caranya menjaga diri. Selama ayah nggak ada di dekat kamu, jaga kepercayaan ayah."

Dinda mengangguk pelan. Keduanya lantas berjalan bersama keluar rumah. Prapti sudah duduk di kursi kayu di teras. Ia tengah menjahit sarung bantal yang robek.

"Bu, saya pamit dulu. Nitip Dinda." Prabu mendekati Prapti lalu mencium tangannya.

"Kok wis bali?" (Kok sudah pulang?)

"Iya. Saya cuma memastikan Dinda baik-baik aja. Sekarang saya mau pulang."

"Yowis (ya sudah). Hati-hati di jalan ya."

Prabu mengangguk. Ia lantas beralih pada Dinda. "Ayah pulang dulu. Dijaga badannya."

Dinda mengangguk. Ia tahu ada dua makna dalam kalimat terakhir Prabu; jaga kesehatan dan jaga diri. Dinda mengambil tangan Prabu dan menciumnya.

Selisih [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang