14. Informasi Berharga

3.3K 441 24
                                    

"Diminum dulu."

Prabu tersentak dari lamunan ketika Prapti meletakkan segelas teh yang masih mengepulkan uap di sampingnya. Ia terlalu larut dalam keheningan dan kesendiriannya duduk di depan rumah. Prabu hendak mengucapkan terima kasih dan memaparkan bahwa Prapti tak perlu serepot itu. Namun, Prapti terburu duduk dan bertanya padanya.

"Sudah bicara sama Dinda?"

Prabu menggeleng. "Makasih saya boleh menginap di sini, bu."

Prapti mengibaskan sebelah tangannya. "Ngomong apa ta? Kamu kan anakku juga. Bapaknya Dinda."

Kali ini Prabu tersenyum tipis dan mengangguk pelan. "Dinda udah makan, bu?"

"Sudah, baru saja. Tapi langsung masuk kamar lagi."

Prabu kembali mengangguk. Sebuah gestur kosong hanya sebagai tanda ia mendengarkan. Sedari siang ia bertemu dengan Dinda, putrinya itu langsung berlari masuk ke rumah dan mengunci diri di kamar. Bahkan hingga malam begini keduanya belum saling bicara.

Prabu enggan memaksa. Melihat penolakan yang diberikan Dinda membuatnya merasa terpukul. Apalagi mengingat Dinda pernah menyatakan perasaan padanya. Itu membuatnya canggung dan tiba-tiba saja merasa kehilangan kuasa untuk mengendalikan Dinda sebagai putrinya.

"Yowis (ya sudah), kamu jangan malam-malam tidurnya. Nanti sakit seperti Dinda."

"Dinda sakit?"

Prapti mengangguk. "Tadi habis makan minta obat flu."

"Batuk juga nggak, bu?" Kening Prabu mengerut dalam tanpa ia sadari. Tatapannya menunjukkan rasa was-was juga khawatir.

Prapti terdiam sejenak mengingat-ingat. "Ndak kayaknya. Ya cuma hidungnya meler tadi. Pijer (selalu) sentlap-sentlup* wae (aja). Dari tadi pagi sudah bersin-bersin. Di warung juga begitu. Mungkin karena tadi pagi bangun langsung nyuci baju. Wis! Bocah kae nek dikandhani pancen ngeyel kok. Podho wae karo ibune." Prapti mendengkus. (Dah! Itu anak kalau dikasih tahu memang ngeyel kok. Sama seperti ibunya.) "Sudah ya, ibu duluan." Prapti menepuk dua kali paha Prabu lalu beranjak pergi dari sana.

Prabu menghela napas panjang dan dalam secara perlahan ketika sosok Prapti sudah menghilang ke dalam rumah. Dadanya terpuaskan menghidu samar bau anyir tanah tanda hujan sebentar lagi akan turun. Angin berembus dingin membuatnya menangkup segelas teh yang dibuatkan Prapti. Perlahan ia sruput minuman itu dan menikmati sensasi hangat yang menjalar dari kerongkongan, dada dan perutnya.

Sudah lama ia tidak kemari. Suasana di desa ini seperti tak ada yang berubah meski sudah lebih banyak rumah dibangun. Itu membuat ingatannya tertarik jauh pada masa lalu yang ia miliki dengan Anjani dulu. Terlebih ketika ia melihat Dinda tadi siang. Baju yang dikenakan anak gadisnya adalah milik ibunya. Wajah dan perawakan Dinda begitu mirip Anjani. Untuk sesaat tadi Prabu dibuat tertegun dan hampir kehilangan napas saat melihat Dinda berdiri di hadapannya. Serasa melihat Anjani sewaktu muda. Desiran halus itu menyapa dadanya lagi setelah sekian puluh tahun.

Prabu menggelengkan kepalanya. Ia menarik senyum kering. Bodoh sekali, umpatnya dalam hati. Pemikiran macam apa yang baru saja hadir di benaknya?

Prabu kembali meminum tehnya. Lidahnya terbakar karena lupa terlebih dahulu meniup tehnya. Bodoh, umpatnya lagi.

Dua jam kemudian gelas Prabu sudah kosong. Hujan mulai turun dan ia akhirnya memutuskan untuk menyudahi malamnya.

Kamar yang ia gunakan malam ini tepat berada di samping kamar Dinda. Ia tidur menatap langit-langit. Beberapa minggu ini ia terpisah jauh dari Dinda. Ia merasa jarak terbentang begitu panjangnya di antara mereka. Bahkan ia merasa pusing sendiri ketika sehari saja ia tak tahu keadaan putrinya.

Selisih [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang