Dinda menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang dan mendesah. Badannya pegal setelah sepagian ini membantu eyangnya berjualan dan dilanjut dengan membereskan kamar yang sekarang ini ia huni. Kamar berukuran 3x4 ini dulunya milik ibunya. Semua baju-baju milik ibunya diletakkan di gudang. Pun barang-barang lainnya yang tidak seberapa. Sekarang kamar itu hanya berisi satu ranjang single, lemari kayu yang terisi beberapa lembar baju Dinda dan meja belajar yang kosong.
Getaran dari bawah bantal Dinda membuatnya batal memejamkan mata. Tangan kanannya meraba dengan malas mencari sumber getaran itu. Lima detik kemudian layar ponsel Dinda sudah terpampang di hadapannya.
Andra is calling...
Kening Dinda justru berlipat saat matanya malah fokus pada ikon di status bar-nya. Ada SMS masuk danpanggilan tak terjawab juga pesan dan panggilan tak terjawab via WhatsApp.
"Hal-"
"Anjrit! Lo kemana aja sih, Din?!"
Dinda jelas terkejut mendapat 'sapaan' semacam itu ketika mengangkat panggilan. "Lo apa-apaan baru telepon udah-"
"Bokap lo tahu!" sahut Andra tanpa mau peduli apa yang akan dikatakan Dinda.
"Ha? Maksudnya?"
"Bokap lo, Din. Dia tahu lo di rumah eyang. Shit!" Terdengar desis kesakitan dari mulut Andra.
Dinda langsung terduduk di ranjangnya. "Kok bisa?!"
Kini erang kesakitan yang Andra suarakan. "Tangan gue hampir patah! Bokap lo dateng ke rumah. Ngancem gue--anjrit! Lo kenapa nggak bilang bokap lo kayak preman?"
Dinda justru semakin pusing dengan ucapan Andra. Entah karena efek kelelahan dan kurang minum, ataukah karena ia terlanjur panik sehingga tak mampu mencerna perkataan Andra.
"Lo kalau cerita yang bener dong!" seru Dinda setengah berteriak. "Gue pusing. Lo ngomong apa gue nggak ngerti!"
Andra mendengkus kesal. "Tadi pagi gue mau cari sarapan. Baru buka pagar badan gue udah dihempas ke tembok. Bokap lo nemuin gue, Din! Dia tahu gue bawa kabur lo. Dia ngancem gue. Nggak peduli bahkan waktu gue bilang lo aman. Dia bahkan hampir patahin tangan kiri gue. Sekarang dia tahu lo ada di rumah eyang."
"Lo gimana sih, Ndra?! Lo sendiri yang jamin nggak akan ada yang tahu gue di sini. Kalau sampai ayah tahu, dia pasti ke sini. Dan kalau itu terjadi, bokap lo pasti curiga! Bokap lo pasti mikir ayah yang bawa gue pergi. Yang artinya lo gagal menuhin janji lo buat bikin ayah tetap aman!"
Andra mengembuskan napas kasar. "First thing first, bokap gue artinya bokap lo juga. Take it, deal with it! Terus masalah om Prabu, mana gue kira kalau bokap lo bisa sampai nyamperin gue. Gue bahkan nggak pernah ketemu langsung sama bokap lo." Andra menarik napas panjang. "Gue sayang lo, Din. Tapi gue lebih sayang sama badan gue. Gue nggak mau hidup cacat!"
Dinda memijat pelipisnya. "Ini pasti gara-gara lo nongol di depan temen-temen gue."
"Ha?"
"Ayah pasti nemuin Renata. Dia satu-satunya temen yang pernah gue ajak ke rumah. Ayah cuma tahu dia. Lo bego sih, Ndra!"
Andra menarik napas tajam. "Apa lo bilang?!"
"Coba waktu itu lo nggak nongol waktu kelulusan gue--nggak, nggak! Harusnya dari awal lo nggak nunjukkin muka lo ke temen gue, siapapun!"
Andra mengumpat pelan begitu memahami maksud Dinda. "Terus sekarang gimana?"
"'Gimana'?!" Nada bicara Dinda naik satu oktaf. "Lo tanya gue? Lo yang rencanain semua ini dari awal. Harusnya lo tahu dong harus gimana sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Selisih [ON HOLD]
General FictionAndai cinta yang tercipta terpentang usia saja sudah tabu di mata orang, lantas apa jadinya Dinda yang ternyata sudah jatuh hati pada pria yang tak hanya jauh lebih tua darinya tapi juga menyandang status sebagai ayahnya?