[44] Hari Duka

135 12 2
                                    

Avram berlari menelusuri lorong rumah sakit ini dengan langkah yang panik. Tidak hanya dirinya yang panik, namun Afkar dan Ghalia juga sama paniknya.

Pikiran Avram sudah bercabang kemana-mana. Membanyangkan hal terburuk menimpa dirinya. Entahlah, Avram begitu panik untuk saat ini. Itu terlihat dari langkahnya yang begitu cepat.

"Maa... tunggu Avram ma. Avram ke sana." Avram melirih sedih dengan air mata yang sudah menetes.

Avram mendorong dua belah pintu kamar itu, namun para suster menahannya untuk masuk. Dari sini, Avram bisa melihat para dokter sedang beraksi dengan berbagai macam alat canggih.

"Dok, saya bayar berapapun asalkan mama saya bisa sembuh!" Hentak Avram yang tak dihiraukan oleh dokter yang sedang fokus.

"Mama gaboleh pergi ma! Mama harus liat Avram bahagia!" Avram menatap mamanya dari balik kaca yang berukuran kecil ini. Air matanya sudah tak bisa dibendung lagi, semuanya mengalir begitu saja seperti kesedihannya yang kian mengalir.

"Tenang Vram... mama pasti bisa lewatin itu semua." Tepukan tangan yang sudah ringkih itu terasa di bahu Avram. Ia adalah ayahnya yang juga ikut merasakan apa yang Avram rasakan.

"Avram mau mama hidup selamanya sama Avram! Avram ga bakal biarin mama sendirian di atas sana, kalo bisa Avram nemenin mama di sana."

Afkar langsung berdiri dan memeluk kakanya yang kacau itu. "Percaya sama gue, mama pasti bisa lewatin masa-masa ini."

"Gue gak bisa hidup tanpa mama... gue takut... mama harus ada di sisi gue, selamanya."

Berjam-jam mereka menunggu di lorong yang mencekam ini. Semua doa telah mereka panjatkan agar mamanya bisa melewati masa-masa sulit ini. Diantara keluarga El-Duritz, hanya Avram-lah yang paling kacau kondisinya. Ia tak henti-henti meluncurkan air mata khawatir itu. Avram begitu takut kalau mamanya akan meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.

Avram adalah sosok yang paling dekat dengan sang mama. Hampir setiap hari Avram selalu menganggap mamanya seperti kekasih yang harus dijaga. Jadi wajar saja kalau Avram yang paling kacau di sini. Mamanya sudah seperti belahan hatinya selama ini.

Ceklek

Dokter membuka maskernya dan menampakan wajah lelah itu.

"Dok! Gimana? Mama baik-baik aja kan? Mama ga kenapa-napa kan? Pasti penyakitnya udah sembuh kan?" Sambar Avram tanpa jeda.

"Ma—maaf."

"Dok?"

"Saya dan tim sudah bekerja semaksimal mungkin, tapi..."

"Gak mungkin! Enggak mungkin!" Teriak Avram frustasi.

Avram langsung mendobrak pintu kamar itu dan melihat mamanya sudah dibalut selimut putih di sekujur tubuhnya. Melihat itu, kaki Avram seperti tidak ada tulangnya, ia terjatuh lemas di pelukan sang mama.

"Ma! Avram di sini ma! Kita pindah rumah sakit sekarang juga ya ma, mama pasti sembuh kok, percaya sama Avram." Ia membuka sehelai selimut putih itu dan menatap wajah mamanya sudah pucat dan dingin.

"Kalian bercanda kan?" Tanya Avram masih tak menyangka. "Mama pasti cuma tidur, ayo sekali lagi kalian coba! Ini bukan akhir hidup mama, ayo cepet coba!" Avram mendesak para tim dokter untuk melakukan aksi penyelamatan lagi.

Untuk apa? Itu semua percuma, karena sudah tidak ada nyawa di dalam sana. Ia sudah pergi. Pergi untuk selamanya.

"Vram... mama udah gak ada. Udah ga ada lagi yang harus dilakuin. Ini udah akhir dari hidup mama." Afkar memeluk kakaknya yang sudah seperti orang gila itu, ia berusaha menenangkan Avram yang kacau akan kejadian malam ini.

Adam dan Audrey 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang