Mereka sedang terduduk di bangku kantin rumah sakit ini. Suasana kamar yang sunyi senyap membuat mereka jenuh dan memilih mengaduk foam kopi yang mereka pesan.
Ternyata mereka memiliki selera yang sama. Yakni menyukai susu yang dikopiin, daripada kopi disusuin. Alias, mereka lebih menyukai yang sangat manis daripada pahit.
"Mau donat?" Tanyanya, sambil menunjuk etalase itu.
Thea menggeleng. "Enggak usah."
"Kenapa?"
"Harus ya setiap penolakan diberi alasan?"
Avram terkekeh, sekejap ia mengusap mulutnya yang agak basah. "Biar saya tau filosofi dari semua penolakan itu."
"Kalau sudah tau, untuk apa?"
"Agar saya tidak menawari hal yang sama."
Thea tertawa hambar. "Lucu kamu Vram."
Mereka kembali terdiam dan memendam puluhan pertanyaan yang terus mencuat dari dalam hatinya. Tapi tidak ada yang berani meluapkan pertanyaan itu.
Avram memperhatikan Thea dengan saksama. Melihati setiap inci wajahnya dari jarak yang agak jauh ini. Thea itu baik, ia wanita yang ramah dan murah senyum. Ia salah satu dari wanita terkuat yang Avram kenal. Tapi mengapa ada orang yang tega menyakiti dirinya? Apa salahnya? Ia mencintai seseorang dengan tulus, tapi dikhianati. Dan bodohnya, ia belum tahu tentang itu semua.
"Pacarmu mana?" Tanya Avram.
"Ada kok di rumahnya, kenapa?"
"Kalian masih pacaran, kan?"
Thea mendelik tak suka. "Iya, kenapa?"
"Syukurlah. Kalian gak ketemu?"
"Hmm..." Thea melirik jam mini di tangannya. "Nanti malam mau ketemu."
"Iya sudah, kabari saya ya kalo ada apa-apa." Avram bangkit dari kursi dan beranjak pergi begitu saja, tanpa memberi pamit pada Thea.
Aneh banget. Gedik Thea dalam hati.
Avram menelusuri lorong rumah sakit dengan langkah gontainya. Kepala Avram dipenuhi oleh banyak pikiran yang membuat dirinya merasa bingung harus mendahulukan yang mana. Tadi pagi, dokter bilang kalau harapan hidup mamanya tidak banyak lagi. Mendengar ucapan kalimat dengan nada menyerah itu berhasil membuat Avram terus kepikiran. Sel kanker di tubuh mamanya sudah menyebar kemana-mana. Aksi para dokter telah dilakukan sebisa mungkin, tapi penyakit ganas itu tak kunjung hilang.
Kini yang Avram lakukan hanyalah menemani mamanya setiap saat. Ia mau memberikan kenangan indah di akhir hidup mamanya. Meskipun tak ada yang bisa ia berikan.
"Avram..." panggil mamanya lirih.
Dengan sigap Avram berdiri di samping mamanya. "Maafin mama ya, selama mama sakit, mama gabisa urusin kamu sama Afkar. Malah, mama ngerepotin kalian dengan keadaan mama yang kayak gini." Ujarnya dengan suara yang nyaris tak terdengar.
"Gapapa ma, Avram kan bisa urus diri sendiri."
"Kalo mama udah ga ada, mama cuma pesen sama kamu, Vram. Jangan keras kepala untuk sendiri terus. Kamu harus punya keturunan dan menikmati masa tua bersama pasangan kamu nanti. Mungkin mama gak bakal liat kamu bahagia bersama pasangan kamu, tapi mama yakin, kamu pasti bahagiain mama kan? Walaupun fisik mama udah di dalam kubur."
"Mama ngomong apa sih? Jangan ngomong gitu ah, Avram selalu berusaha untuk nyembuhin mama kok. Minggu depan kita pindah rumah sakit ya ma? Kita ke Singapur dan berobat di sana sampai mama sembuh, mama mau kan?" Avram berusaha memberikan semangat pada mamanya, meskipun sudah puluhan dokter angkat tangan untuk menyembuhkan penyakit ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adam dan Audrey 2
Romance"What are you scared of?" "Falling love again." Image taken from : pinterest Design by : canva