[55] May I going to Die?

287 35 47
                                    

Angin berhembus perlahan menerpa wajah pemuda berkulit putih pucat itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Angin berhembus perlahan menerpa wajah pemuda berkulit putih pucat itu. Menerbangkan  rambut hitamnya mengikuti arah angin. Hiroki tengah berdiri di sisi jendela kamarnya, menyesapi segarnya angin di malam hari. Cukup lama ia termenung disana, menatap langit hitam tanpa bintang yang terlihat begitu sendu.

Untuk kesekian kalinya ia berpikir, kenapa dirinya harus seperti ini? Kenapa Tuhan memberikannya cobaan lagi? Ia bahkan belum sepenuhnya menerima kalau ia terkena penyakit kelainan darah itu, tapi sekarang kenapa penyakit lain harus ikut ada di dalam tubuhnya?

Pneumonia. Ya, itulah penyakit baru yang kini ikut bersarang di dalam tubuh kurus nan ringkih milik Hiroki. Dokter bilang sistem imunnya semakin melemah, karena sel sabit di dalam tubuhnya mulai menyerang limpa. Karena itulah Hiroki terinfeksi virus penyakit paru-paru itu.

Terkadang Hiroki merasa ingin menyerah, tapi di sisi lain ia juga sangat menyadari kalau menyerah bukanlah solusi yang baik untuk dia keluar dari semua masalahnya. Karena bagaimana pun segala sesuatu itu harus dilakukan dengan berjuang. Dan ia juga tidak mau mengecewakan orang-orang yang sudah berjuang untuknya. Ia harus bertahan.

"Hiro, kamu lagi apa nak?" suara lembut itu membuyarkan lamunannya.

"Ini udah malem sayang, udah tutup jendelanya. Nanti kamu masuk angin!" lanjut suara itu memerintah Hiroki. Tangannya terangkat lalu menutup jendela kemudian menguncinya.

Hiroki berjalan menghampiri Akira yang sedang sibuk mengeluarkan beberapa butir obat dari botol yang di bawanya.

"Ini minum dulu obatnya, terus kamu istirahat."
Akira menyerahkan beberapa obat ke tangan Hiroki. Tanpa berkata apapun, pemuda itu menerima obatnya. Ia menatap beberapa butir obat di tangannya. Harus berapa ratus butir obat lagi yang dia minum untuk bisa sembuh? Hiroki menelan obatnya dengan susah payah, lalu meminum air putih yang di sodorkan bundanya.

"Makasih, bunda." Ucapnya sambil menyerahkan gelas bekasnya.

"Nah, sekarang kamu tidur ya. Biar cepet sembuh." Akira merapikan bantal Hiroki, lalu menyuruh anaknya itu untuk segera berbaring.

"Bunda duduk disini, temenin Hiro tidur." Pinta sang anak sambil menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya. Akira hanya tersenyum lalu menuruti permintaan anak kesayangannya itu.

"Bunda.."

"Iya sayang?"

"Bunda, tau gak? Sebenernya, sampe saat ini Hiro masih gak nyangka loh kalo bu Akira yang dulu  galak dan sering marahin Hiro bakal jadi bundanya Hiro sekarang. Hiro juga gak nyangka ternyata bunda sebaik ini, padahal Hiro bukan anak kandung bunda." Ucap Hiroki dengan mata menerawang ke langit-langit kamarnya, mengingat-ngingat bahwa dulu ia sangat membenci Akira karena sering memarahinya.

"Karena darah tak selalu lebih kental dari air, nak. Bunda sayang kamu lebih dari apapun." Akira mengusap lembut rambut anaknya sambil tersenyum.

"Dulu, setiap hari ibu dimana temen-temen Hiro sibuk cari hadiah buat ibu mereka, Hiro cuma bisa diem. Hiro cuma bisa berandai-andai. Tapi sekarang Hiro gak perlu lagi berandai-andai, karena sekarang Hiro udah punya bunda. Sekarang Hiro bisa beliin hadiah hari ibu buat bunda. Hiro kira, Hiro gak bakal pernah rasain gimana kasih sayang seorang ibu, tapi ternyata Allah kasih hadiah berharga buat Hiro.." Hiroki diam lalu menatap wajah cantik bundanya.

Growing Up (Vol. 03)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang