Bab 2

1.4K 101 5
                                    

Fahmi, Muhammad Fahmi Musfiq Amrulloh.

Mendengar dan mengingat namanya saja sudah membuat Kiki berantakan, tersedak minumannya sendiri. Bayangan Kiki meluncur ke masa lalu. Rasanya, tiga tahun yang lalu dia adalah wanita paling bahagia. Rasanya, Kiki tidak mungkin sakit hati karena dia memiliki jagoan seperti Fahmi. Ah, memangnya Fahmi menyakitinya? Entahlah.

Genap sudah tiga tahun dia pergi. Meninggalkan Kiki seorang diri. Membiarkan Kiki menjalani hari-harinya sendiri. Kiki belum sedewasa ini waktu itu. Dan Fahmi sendiri tahu, Kiki tidak bisa hidup tanpa dia. Kiki butuh Fahmi untuk menjelaskan apa yang tidak dipahaminya, Kiki butuh Fahmi untuk memarahi Kiki ketika kesalahan diperbuatnya. Kiki butuh Fahmi.

****

“Lo pengen ambil jurusan apa kalau kuliah nanti?”

“Kimia.” Jawab Kiki sembari meneguk minuman kesukaannya, lemon tea.

“Ck. Emang nggak pusing, apa?”

Kiki terkekeh, “Fahmi juga futsal terus, nggak capek?”

“Nggak. Kan gue suka.”

“Kiki juga suka Kimia, jadi nggak pusing.”

“Gue juga.”

“Suka Kimia?”

“Suka sama lo.”

Pipi Kiki merona, lelaki di sampingnya ini telah menyandang status sebagai kekasihnya sejak satu tahun yang lalu, telah bersamanya sejak belasan tahun yang lalu, tapi romantisnya seperti baru bertemu kemarin. Fahmi, jangan pernah berubah, ya.

“Kalau Fahmi, kuliah mau ambil apa?”

“Hukum.”

“Kenapa?”

“Biar keren.”

“Ck. Fahmi, jawab yang benar!”

Fahmi terkekeh, “Biar bisa hukum lo kalau lo nakal.”

“Kiki mana pernah nakal? Fahmi yang nakal.”

“Gue mana pernah nakal. Gue tuh anak baik.”

“Karena menghormati guru dan menyayangi teman?”

“Iyalah.”

“Tapi Fahmi nggak hormat sama Pak Handoko.”

“Karena dia bukan bendera.”

“Ishh! Tapi Fahmi nggak sayang sam-"

“Gue sayang sama lo.”

“Ih, Kiki belum selesai ngomong!”

“Gue udah tahu lo mau ngomong apa.”

“Kenapa?”

“Harusnya lo tanya ‘Apa?’ bukan ‘Kenapa?’”

“Ngapain Kiki tanya ‘Apa’ kan Fahmi udah tahu. Kiki tanya ‘Kenapa’ karena Kiki pengen tahu kenapa Fahmi bisa tahu?”

“Gampang, karena gue tahu semua tentang lo.”

“Fahmii…” Kiki menutup wajahnya dengan telapak tangan.

Ngobrol dengan Fahmi lama-lama tidak sehat untuk perasaannya. Ini semua tidak sehat, Fahmi seeperti narkotika, membuat candu dan rindu dalam waktu bersamaan.

****

“Ki?”

“Hey?” Innayah mengibas-ibaskan tangannya di depan wajah Kiki.

“E-eh?” Kiki terkejut.

“Jangan ngelamun teruslah. Kebiasaan banget, sih.”

Kiki melamun, lagi? Lagi-lagi Kiki melamun. Bayangan-bayangan indah itu selalu saja muncul tiba-tiba. Kehidupan masa lalu itu selalu berdesakan, memaksa hadir di masa  depan. Sebenarnya  apa sih maunya?

“Kiki nggak ngelamun, kok.” Kiki tersenyum.

“Kenapa, sih? Mikirin Fahmi?”

Kiki diam.

“Ki, percuma juga kamu mikirin dia setiap hari sampai ngelamun gitu. Yaang perlu kamu lakuin cuma yakin. Yakin kalau dia pasti pulang.”

“Fahmi pasti pulang, karena Kiki adalah rumahnya.” Kiki menatap lurus ke depan.

Ya, Fahmi pasti pulang ke Indonesia, Fahmi pasti pulang ke sini, ke pelukan Kiki. Fahmi mana bisa pergi lama-lama. Fahmi pasti juga merindukan Kiki di sana.

KEEYARA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang